Kamis, 03 Januari 2013

Versi Teks First Love Promise


‘’Tanggal 1 April, saat be umur 16 tahun nanti… kita jumpa disini lagi, ya!?’’ itulah janji semasa kecil yang kami buat… di atas bukit yang menghadap ke kota… aku percaya akan janji itu. Ini pasti pertemuan yang sudah ditakdirkan.
“Itu cerita 10 tahun lalu, kan?” ucap seorang perempuan. “Apalagi setelah itu kalian tidak pernah berhubungan.”
“Dia pasti lupa.” Ucap perempuan yang satu lagi.
“Masa?” ucap perempuan yang bercerita.
“Iya! Anju naïf banget, sih…” ucap temannya.
“Habis…” pikir perempuan yang bernama Anju. “Dia cinta pertamaku… selain itu…”
“Besok hari yang dijanjikan itu!” ucap Anju. Hari ini 31 Maret.


“Sudah, hentikan cerita dongengnya, sebab sebentar lagi…” ucap temannya. “Kehidupan SMA yangl uar biasa akan dimulai!”
‘Meski mereka berkata seperti itu, tapi…. Aku memikirkan segala kemungkinan yang ada. Apa besok dia akan datang? Nama cowok itu Sei Hayama.’ Pikir Anju menjelang tidurnya. ‘Cowok periang yang bisa diandalkan, baik hati… dan selalu menolong diriku yang bodoh ini…’ Ia membayangkan saat-saat masa kecilnya saat bersama  Sei itu. ‘Tapi, sejak saat itu… dia pindah ke tempat yang jauh… kira-kira dia menjadi cowok seperti apa, ya?’ kemudian Ia terlelap.
-----Hari H, hari janjian-----
“Aku ingin ketemu, ingin ketemu…” Anju berlari dengan penuh harapan, ‘apakah dia menungguku di atas bukit ini?’
Di balik pohon di atas bukit itu Nampak seorang laki-laki. “Ada seseorang!” pikir Anju. Ia mendekat ke laki-laki itu, kemudian bertanya, “Ah, apa kamu…”
Laki-laki itu berbalik. “Sei… Hayama?”
Hening sesaat.
“Iya.” Jawab laki-laki itu. “Kenapa?” Tanya laki-laki itu dingin.
“Eh?” Sepertinya… kesannya berbeda… entah apa karena sikapnya yang dingin atau tidak ramah… dia kelihatan jauh berbeda dengan Sei yang dulu…
“Kalau nggak ada urusan, aku mau pergi.” Ucap laki-laki bernama Sei itu.
“Ah, tunggu!”
“Apa?”
“Ukh…” bagaimana ini? Aku jadi takut!
“Lalu… berakhir begitu saja?” Tanya teman Anju ketika mereka sudah ada di sekolah keesokan harinya.
“Ya.” Jawab Anju lesu.
“Kau berlebihan membayangkan cinta pertamamu, sih… Iya, kan?”
“Mungkin.” Meskipun begitu, aku shock sekali karena dia telah berubah.
“Kelasku disini!” ucap temannya ketika sampai di kelas 1-3. “Daah, Anju! Duluan ya! Kehidupan SMA baru saja dimulai. Kamu harus menemukan cinta baru!”
“Sampai nanti!”
‘cinta baru, ya….sempat terpikir, sih, tapi…kenapa.. disampingku ada Sei!?’ ternyata Anju dan Sei duduk berdampingan. ‘Sulit dipercaya… aku sekelas dan duduk bersebelahan dengannya.’ Anju memperhatikan Sei. ‘Sejak tadi dia diam saja dan tidak melihatku… dia seperti cowok yang tidak kukenal. Kalau begini… sebaiknya kami tidak perlu bertemu kembali…’
“Bapak akan bagikan formulirnya. Tolong diisi sekarang.” Ucap seorang guru. “karena akan segera dikumpulkan.”
“Eh?”
‘Ya ampun… aku lupa bawa tempat pensil! Gimana nih…aku belum akrab dengan yang lain… aku nggak bisa pinjam barang ke orang lain.’ Anju jadi panik. ‘Tapi kalau begini terus, formulirnya nggak bisa diisi!!’
Klotak! Weer..weer… sebuah pensil bergulir di bangku Anju.
‘Eh? Sejak kapan? Ini….’ Anju melihat ke arah Sei, yang sedang memegang pensil yang kembaran dengan Anju. ‘Jangan-jangan…’
Teng! Teng! Bel berbunyi. Sei berdiri dari bangkunya dan bersiap pulang.
“Tunggu, Sei!” cegah Anju.
Sei berhenti. Terdiam. Hening.
‘Lagi-lagi keheningan yang membuatku tertekan!’ pikir Anju.
“Ah, ini… punya Sei, kan? Anju menyodorkan pensil itu.
“Ah! Aku lupa…”
‘Ternyata memang Sei yang meminjamkannya’ pikir Anju. ‘Dia tahu aku sedang kebingungan…’
“Tunggu!” lagi-lagi Anju mencegat Sei. Yang menunduk 45 derajat dan berkata, “Aku benar-benar tertolong. Terima kasih!”
Sei tersenyum. Walau nyaris tak terlihat. “Hehe.. jujur sekali.”
‘Ah… dia tersenyum sedikit. Orangnya pendiam… dingin dan tidak ramah… tapi… mungkin kebaikan hatinya tidak berubah.’
“Wah! Ada sarang burung!” ucap Anju menengok ke atas, melihat sarang burung di pohon di atas bukit. ‘Baru pertama kali aku melihatnya…’
Tanpa kusadari kakiku melangkah ke bukit tempat janjian kami…
“Akhir-akhir ini banyak penemuan yang luar biasa.” Pikir Anju. “Tapi sarang itu sepertinya miring. Apa Cuma perasaanku saja?” akhirnya Ia memutuskan untuk memanjat. “Agak khawatir… coba kulihat…”
Ketika memanjat, tanpa sengaja kaki Anju terpleset. ‘Eh? Tidak mungkin….! Aku jatuh…!’ Anju menutup matanya.
BRUUUKK!! ‘Lho? Kok nggak sakit?’ Anju membuka matanya, dan melihat seorang laki-laki yang menangkapnya.
“Kamu nggak apa-apa?” Tanya Sei.
“Iya! Terima kasih!” ucap Anju. ‘Kenapa ada Sei disini?’ pikir Anju.
“Ng… aku bukannya iseng memanjat pohon, tapi… burungnya…eh, sarangnya….”
“Miring?” potong Sei.
“Eh? Kok tahu?” Tanya Anju. Sei menunjukkan tas kresek yang dibawanya, kemudian Ia memanjat pohon.
‘Ternyata Sei sudah tahu…’ pikir Anju sambil melihat Sei membenarkan posisi sarang itu dengan alat-alat yang dibawanya di tas kresek.’Makanya, dia membeli peralatan untuk mengikat sarang burung itu…’
“Syukurlah! Dengan begini, jadi lega rasanya!” ucap Anju setelah Sei turun. “Sei baik sekali.”
“Jarang ada orang yang bilang aku baik.”
“Haha.. masa?” Anju menggaruk-garuk kepalanya.
“Banyak yang bilang aku nggak ramah.”
“Hahahaha…” Anju mulai berkeringat. ‘Maaf, aku juga berpikiran seperti itu. Aku sudah mengerti…’ Anju tersenyum ke arah Sei. “Kebaikan hatimu masih sama seperti dulu.”
“Waktu kecil kita sering main disini. Sei selalu menolongku saat terjatuh dan menangis. Tadi kamu juga menolongku lagi.” Anju masih tersenyum. “Aku bersyukur bisa berjumpa lagi dengan Sei.” Sekarang aku benar-benar berpikiran seperti itu…
“ah…” ucap Sei. Hujan tiba-tiba menetes.
“Eh, hujan? Harus cepat pulang!” ucap Anju. Sementara Sei hanya terdiam dengan ekspresi bersalah.
“Apa gara-gara kemarin kehujanan, ya?” pikir Anju sambil memegang dahinya sendiri. Nampaknya tubuhnya panas. “Aku merasa sedikit lemas.” Kemudian Ia duduk di bangkunya.
“Ah, pagi!” sapa Sei.
“Pagi!”
“Ng… aku…. Sebenarnya…” ucap Sei Nampak ingin mengatakan sesuatu. Namun ketika melihat Anju, Ia langsung menarik perempuan itu hingga dahi mereka bertemu. *perhatian: nggak sampai kejedot, kok XD* “Kamu… demam, ya?”
Wajah Anju yang memerah karena demam semakin memerah.
“Ternyata memang demam!” ucap seorang perawat ketika Anju sudah dibawa ke UKS. “Bahkan wajahmu sampai memersh begitu. Kamu nggak apa-apa!?”
‘Wajahku merah bukan karena demam…’ pikir Anju.
“Kamu istirahat saja. Kita lihat keadaan selanjutnya.” Ucap perawat itu.
“Iya… terima kasih.”
Sama seperti waktu dia meminjamkan aku pensil… kenapa dia bisa tahu setiap kali ada yang aneh dengan diriku!? Setiap kali Sei seperti itu… lama-lama aku jadi tertarik padanya.
“Bagaimana keadaanmu?” Tanya perawat ketika Anju terbangun dari tidurnya. Bel telah berbunyi.
“Masih demam sedikit, tapi sudah agak baikan.”
“Kau sudah dapat izin untuk pulang, jadi jangan memaksakan dirimu.” Ucap si perawat. “ ‘dia’ kemari setiap jam istirahat karena mencemaskanmu, pergilah temui dia. Supaya dia tenang.”
“Sei… sebegitu mencemaskan diriku?” hati Anju berdegup. ‘Sudah kuduga dia memang baik…’ pikir Anju.
“Jadi namanya Sei, ya?” Tanya perawat itu. “Ibu kira namanya Kiyoshi… Ibu sudah salah memanggil namanya.”
‘Kiyoshi?’
“Tapi kalau salah panggil pun, seharusnya menjadi Ao, kan?” Tanya Anju.
“Ao? Dia Hayama yang sekelas denganmu, kan?” Tanya perawat itu. Ia membuka daftar nama siswa kelas 1-4. “Lihat…Sei Hayama…”
*”Sei” cinta pertama Anju dengan “Sei” yang sekelas dengannya, memiliki penulisan nama dalam huruf kanji yang berbeda.*
“Saya permisi…” ucap Anju. Apa maksudnya? Aku tidak sadar kalau penulisan namanya berbeda. Dia bukan Sei yang kukenal? Berarti…dia bukan cinta pertamaku?
Di koridor itu Anju bertemu dengan Sei.
“Bagaimana keadaanmu?” Tanya Sei. Anju hanya terdiam.
Aku jadi takut. Kenapa dia tidak mengatakan apa-apa waktu aku bercerita tentang masa lalu? Seharusnya dia sadar aku keliru.
“Sei… kamu pasti sudah menyadarinya, kan?” Tanya Anju memutuskan untuk bicara.”Aku telah salah mengiramu sebagai orang lain.”
“…Ya, aku sudah tahu.”
“Sudah tahu!?” kalau begitu…”Kamu mempermainkanku, ya?”
“…” ucapan itu membuat Sei terdiam sesaat. “Menurutmu begitu?” Sei menutup mata. “Kalau… menurutmu begitu… maka benar begitu.”
‘Kalau menurutmu begitu, maka benar begitu.’ Dia tidak menyangkalnya… sepertinya… ada yang tidak kumengerti… sedih… sesak… jarak ini benar-benar menyesakkan.
“Ah, aku harus konsentrasi pada pelajaran.” Pikir Anju. Ia membuka tasnya. “Eh? Ya ampun! Lagi-lagi lupa bawa tempat pensil!?” Anju menundukkan kepalanya ke bangku dengan sedih.”Kenapa aku begini bodoh? Aku jadi benci pada diriku sendiri. Selalu murung….” Anju menutup matanya.
Ketika membuka mata, Ia melihat sebuah pensil sudah ada di bangkunya. Secara spontan Ia langsung melirik Sei, dan Sei Nampak pura-pura mengalihkan perhatian. “Padahal ada kejadian seperti itu… apa dia menolongku karena tahu aku sedang kebingungan?” pikir Anju. “Sei sedang memasang tampang apa, ya? Waktu itu air mukanya seperti apa? Aku tidak mengerti… tapi… satu hal yang kumengerti…. Benar, akulah yang pertama kali keliru mengiranya sebagai orang lain….”
Anju menulis sebuah surat kecil dan menyerahkannya pada Sei disampingnya. Isi surat itu,: “Untuk Sei… pertama-tama, aku mau minta maaf soal kemarin. Setelah kupikirkan dengan tenang, aku tahu pasti kalau Sei bukan tipe yang suka mempermainkn orang. Aku nggak tahu apakah kau mau memaafkan diriku yang telah meragukanmu, tapi…. Ada yang harus kusampaikan ke Sei. Meskipun bukan cinta pertamaku, tapi….
…Aku suka Sei.”
‘Uwaaah, aku gugup sekali!’ pikir Anju. Ia deg-degan. Kemudian sepucuk surat balasan dari Sei diterimanya. Isi surat itu…
“Suka.”
Hanya kata ‘Suka’ yang tertulis di surat itu. Benar-benar tipikal Sei sekali. Tapi saat aku meliriknya, wajahnya tidak seperti Sei yang biasanya (*wajah Sei memerah). Karena teralu senang, tanpa sadar akupun tertawa.
Sei dan Anju duduk di bukit itu. Menikmati pemandangan dan angin yang berhembus. Kemudian Sei berkata, “Sebenarnya.. aku tahu tentang Sei yang asli.”
“Eh?”
“Aku dan Sei masih kerabat.” Jelas Sei. “Sei bercerit tentang janjinya di bukit ini. Dia bilang telah membuat janji penting dengan gadis yang penting. Tapi sekarang Sei sudah punya pacar.”
‘Sei (yang asli) mengingatnya…’ pikir Anju.
“ ‘Sekarang aku sudah punya gadis yang jauh lebih penting…jadi aku nggak bisa kesana’, begitu katanya….” Ucap Sei.
‘Jadi begitu rupanya…’ pikir Anju. ‘benar-benar tipikal Sei sekali.’
“Menurutku sikapnya itu egois!” ucap Sei.
“Ah, masa? Tapi bukankah ceritanya berakhir dengan baik?”
“Soalnya, aku merasa gadis itu pasti mempercayai janji itu.” Ucap Sei tanpa memperdulikan apa yang dikatakan Anju. “Kenyataannya, kamu mempercayainya, kan?”
‘Memang…’ pikir Anju. “Jangan-jangan waktu Sei datang, karena mencemaskanku, ya?” Tanya Anju.
“Cuma kebetulan. Awalnya, aku nggak ingat soal cerita itu, dan nggak sadar disangka sebagai orang lain.” Ucap Sei. Ia tersenyum. “Tapi kalau pertemuan itu memang kebetulan… berarti ini takdir, kan?”
Wajah Anju memerah. “Ya!”
Cinta pertamaku  tidak terwujud, tapi yang kutemukan di tempat janjian justru… cinta yang lebih luar biasa…
Ini pasti tipuan cinta pertama.

First Love Promise―Tamat.
(
http://esti-widhayang.blogspot.com/)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar