First LovePromise
Teks Version by esti-widhayang.blogspot.com
Author: Dhwati Esti Widhayang
Teks Version by esti-widhayang.blogspot.com
Author: Dhwati Esti Widhayang
‘’Tanggal 1
April, saat be umur 16 tahun nanti… kita jumpa disini lagi, ya!?’’ itulah janji
semasa kecil yang kami buat… di atas bukit yang menghadap ke kota… aku percaya
akan janji itu. Ini pasti pertemuan yang sudah ditakdirkan.
“Itu cerita
10 tahun lalu, kan?” ucap seorang perempuan. “Apalagi setelah itu kalian tidak
pernah berhubungan.”
“Dia pasti
lupa.” Ucap perempuan yang satu lagi.
“Masa?” ucap
perempuan yang bercerita.
“Iya! Anju
naïf banget, sih…” ucap temannya.
“Habis…”
pikir perempuan yang bernama Anju. “Dia cinta pertamaku… selain itu…”
“Besok hari yang dijanjikan itu!” ucap Anju. Hari ini 31 Maret.
“Sudah, hentikan cerita dongengnya, sebab sebentar lagi…” ucap temannya. “Kehidupan SMA yangl uar biasa akan dimulai!”
“Besok hari yang dijanjikan itu!” ucap Anju. Hari ini 31 Maret.
“Sudah, hentikan cerita dongengnya, sebab sebentar lagi…” ucap temannya. “Kehidupan SMA yangl uar biasa akan dimulai!”
‘Meski mereka
berkata seperti itu, tapi…. Aku memikirkan segala kemungkinan yang ada. Apa
besok dia akan datang? Nama cowok itu Sei Hayama.’ Pikir Anju menjelang
tidurnya. ‘Cowok periang yang bisa diandalkan, baik hati… dan selalu menolong
diriku yang bodoh ini…’ Ia membayangkan saat-saat masa kecilnya saat
bersama Sei itu. ‘Tapi, sejak saat itu…
dia pindah ke tempat yang jauh… kira-kira dia menjadi cowok seperti apa, ya?’
kemudian Ia terlelap.
-----Hari H, hari
janjian-----
“Aku ingin
ketemu, ingin ketemu…” Anju berlari dengan penuh harapan, ‘apakah dia
menungguku di atas bukit ini?’
Di balik
pohon di atas bukit itu Nampak seorang laki-laki. “Ada seseorang!” pikir Anju.
Ia mendekat ke laki-laki itu, kemudian bertanya, “Ah, apa kamu…”
Laki-laki itu
berbalik. “Sei… Hayama?”
Hening sesaat.
“Iya.” Jawab
laki-laki itu. “Kenapa?” Tanya laki-laki itu dingin.
“Eh?”
Sepertinya… kesannya berbeda… entah apa karena sikapnya yang dingin atau tidak
ramah… dia kelihatan jauh berbeda dengan Sei yang dulu…
“Kalau nggak
ada urusan, aku mau pergi.” Ucap laki-laki bernama Sei itu.
“Ah, tunggu!”
“Apa?”
“Ukh…”
bagaimana ini? Aku jadi takut!
“Lalu…
berakhir begitu saja?” Tanya teman Anju ketika mereka sudah ada di sekolah
keesokan harinya.
“Ya.” Jawab
Anju lesu.
“Kau
berlebihan membayangkan cinta pertamamu, sih… Iya, kan?”
“Mungkin.”
Meskipun begitu, aku shock sekali karena dia telah berubah.
“Kelasku
disini!” ucap temannya ketika sampai di kelas 1-3. “Daah, Anju! Duluan ya!
Kehidupan SMA baru saja dimulai. Kamu harus menemukan cinta baru!”
“Sampai
nanti!”
‘cinta baru, ya….sempat terpikir, sih, tapi…kenapa.. disampingku ada Sei!?’ ternyata Anju dan Sei duduk berdampingan. ‘Sulit dipercaya… aku sekelas dan duduk bersebelahan dengannya.’ Anju memperhatikan Sei. ‘Sejak tadi dia diam saja dan tidak melihatku… dia seperti cowok yang tidak kukenal. Kalau begini… sebaiknya kami tidak perlu bertemu kembali…’
‘cinta baru, ya….sempat terpikir, sih, tapi…kenapa.. disampingku ada Sei!?’ ternyata Anju dan Sei duduk berdampingan. ‘Sulit dipercaya… aku sekelas dan duduk bersebelahan dengannya.’ Anju memperhatikan Sei. ‘Sejak tadi dia diam saja dan tidak melihatku… dia seperti cowok yang tidak kukenal. Kalau begini… sebaiknya kami tidak perlu bertemu kembali…’
“Bapak akan
bagikan formulirnya. Tolong diisi sekarang.” Ucap seorang guru. “karena akan
segera dikumpulkan.”
“Eh?”
‘Ya ampun… aku lupa bawa tempat pensil! Gimana nih…aku belum akrab dengan yang lain… aku nggak bisa pinjam barang ke orang lain.’ Anju jadi panik. ‘Tapi kalau begini terus, formulirnya nggak bisa diisi!!’
‘Ya ampun… aku lupa bawa tempat pensil! Gimana nih…aku belum akrab dengan yang lain… aku nggak bisa pinjam barang ke orang lain.’ Anju jadi panik. ‘Tapi kalau begini terus, formulirnya nggak bisa diisi!!’
Klotak!
Weer..weer… sebuah pensil bergulir di bangku Anju.
‘Eh? Sejak kapan? Ini….’ Anju melihat ke arah Sei, yang sedang memegang pensil yang kembaran dengan Anju. ‘Jangan-jangan…’
‘Eh? Sejak kapan? Ini….’ Anju melihat ke arah Sei, yang sedang memegang pensil yang kembaran dengan Anju. ‘Jangan-jangan…’
Teng! Teng!
Bel berbunyi. Sei berdiri dari bangkunya dan bersiap pulang.
“Tunggu,
Sei!” cegah Anju.
Sei berhenti.
Terdiam. Hening.
‘Lagi-lagi keheningan yang membuatku tertekan!’ pikir Anju.
‘Lagi-lagi keheningan yang membuatku tertekan!’ pikir Anju.
“Ah, ini…
punya Sei, kan? Anju menyodorkan pensil itu.
“Ah! Aku
lupa…”
‘Ternyata
memang Sei yang meminjamkannya’ pikir Anju. ‘Dia tahu aku sedang kebingungan…’
“Tunggu!” lagi-lagi Anju mencegat Sei. Yang menunduk 45 derajat dan berkata, “Aku benar-benar tertolong. Terima kasih!”
“Tunggu!” lagi-lagi Anju mencegat Sei. Yang menunduk 45 derajat dan berkata, “Aku benar-benar tertolong. Terima kasih!”
Sei
tersenyum. Walau nyaris tak terlihat. “Hehe.. jujur sekali.”
‘Ah… dia
tersenyum sedikit. Orangnya pendiam… dingin dan tidak ramah… tapi… mungkin
kebaikan hatinya tidak berubah.’
“Wah! Ada
sarang burung!” ucap Anju menengok ke atas, melihat sarang burung di pohon di
atas bukit. ‘Baru pertama kali aku melihatnya…’
Tanpa
kusadari kakiku melangkah ke bukit tempat janjian kami…
“Akhir-akhir
ini banyak penemuan yang luar biasa.” Pikir Anju. “Tapi sarang itu sepertinya
miring. Apa Cuma perasaanku saja?” akhirnya Ia memutuskan untuk memanjat. “Agak
khawatir… coba kulihat…”
Ketika
memanjat, tanpa sengaja kaki Anju terpleset. ‘Eh? Tidak mungkin….! Aku jatuh…!’
Anju menutup matanya.
BRUUUKK!! ‘Lho? Kok nggak sakit?’ Anju membuka matanya, dan melihat seorang laki-laki yang menangkapnya.
BRUUUKK!! ‘Lho? Kok nggak sakit?’ Anju membuka matanya, dan melihat seorang laki-laki yang menangkapnya.
“Kamu nggak
apa-apa?” Tanya Sei.
“Iya! Terima
kasih!” ucap Anju. ‘Kenapa ada Sei disini?’ pikir Anju.
“Ng… aku bukannya iseng memanjat pohon, tapi… burungnya…eh, sarangnya….”
“Ng… aku bukannya iseng memanjat pohon, tapi… burungnya…eh, sarangnya….”
“Miring?”
potong Sei.
“Eh? Kok
tahu?” Tanya Anju. Sei menunjukkan tas kresek yang dibawanya, kemudian Ia
memanjat pohon.
‘Ternyata Sei
sudah tahu…’ pikir Anju sambil melihat Sei membenarkan posisi sarang itu dengan
alat-alat yang dibawanya di tas kresek.’Makanya, dia membeli peralatan untuk
mengikat sarang burung itu…’
“Syukurlah!
Dengan begini, jadi lega rasanya!” ucap Anju setelah Sei turun. “Sei baik
sekali.”
“Jarang ada
orang yang bilang aku baik.”
“Haha..
masa?” Anju menggaruk-garuk kepalanya.
“Banyak yang
bilang aku nggak ramah.”
“Hahahaha…”
Anju mulai berkeringat. ‘Maaf, aku juga berpikiran seperti itu. Aku sudah
mengerti…’ Anju tersenyum ke arah Sei. “Kebaikan hatimu masih sama seperti
dulu.”
“Waktu kecil
kita sering main disini. Sei selalu menolongku saat terjatuh dan menangis. Tadi
kamu juga menolongku lagi.” Anju masih tersenyum. “Aku bersyukur bisa berjumpa
lagi dengan Sei.” Sekarang aku benar-benar berpikiran seperti itu…
“ah…” ucap
Sei. Hujan tiba-tiba menetes.
“Eh, hujan?
Harus cepat pulang!” ucap Anju. Sementara Sei hanya terdiam dengan ekspresi
bersalah.
“Apa
gara-gara kemarin kehujanan, ya?” pikir Anju sambil memegang dahinya sendiri.
Nampaknya tubuhnya panas. “Aku merasa sedikit lemas.” Kemudian Ia duduk di
bangkunya.
“Ah, pagi!”
sapa Sei.
“Pagi!”
“Ng… aku….
Sebenarnya…” ucap Sei Nampak ingin mengatakan sesuatu. Namun ketika melihat
Anju, Ia langsung menarik perempuan itu hingga dahi mereka bertemu. *perhatian:
nggak sampai kejedot, kok XD* “Kamu… demam, ya?”
Wajah Anju
yang memerah karena demam semakin memerah.
“Ternyata
memang demam!” ucap seorang perawat ketika Anju sudah dibawa ke UKS. “Bahkan
wajahmu sampai memersh begitu. Kamu nggak apa-apa!?”
‘Wajahku
merah bukan karena demam…’ pikir Anju.
“Kamu
istirahat saja. Kita lihat keadaan selanjutnya.” Ucap perawat itu.
“Iya… terima
kasih.”
Sama seperti
waktu dia meminjamkan aku pensil… kenapa dia bisa tahu setiap kali ada yang
aneh dengan diriku!? Setiap kali Sei seperti itu… lama-lama aku jadi tertarik
padanya.
…
…
“Bagaimana
keadaanmu?” Tanya perawat ketika Anju terbangun dari tidurnya. Bel telah
berbunyi.
“Masih demam
sedikit, tapi sudah agak baikan.”
“Kau sudah
dapat izin untuk pulang, jadi jangan memaksakan dirimu.” Ucap si perawat. “ ‘dia’
kemari setiap jam istirahat karena mencemaskanmu, pergilah temui dia. Supaya
dia tenang.”
“Sei…
sebegitu mencemaskan diriku?” hati Anju berdegup. ‘Sudah kuduga dia memang
baik…’ pikir Anju.
“Jadi namanya
Sei, ya?” Tanya perawat itu. “Ibu kira namanya Kiyoshi… Ibu sudah salah
memanggil namanya.”
‘Kiyoshi?’
“Tapi kalau salah panggil pun, seharusnya menjadi Ao, kan?” Tanya Anju.
“Tapi kalau salah panggil pun, seharusnya menjadi Ao, kan?” Tanya Anju.
“Ao? Dia
Hayama yang sekelas denganmu, kan?” Tanya perawat itu. Ia membuka daftar nama
siswa kelas 1-4. “Lihat…Sei Hayama…”
*”Sei” cinta pertama Anju dengan “Sei” yang sekelas dengannya, memiliki penulisan nama dalam huruf kanji yang berbeda.*
*”Sei” cinta pertama Anju dengan “Sei” yang sekelas dengannya, memiliki penulisan nama dalam huruf kanji yang berbeda.*
“Saya
permisi…” ucap Anju. Apa maksudnya? Aku tidak sadar kalau penulisan namanya
berbeda. Dia bukan Sei yang kukenal? Berarti…dia bukan cinta pertamaku?
Di koridor
itu Anju bertemu dengan Sei.
“Bagaimana keadaanmu?” Tanya Sei. Anju hanya terdiam.
“Bagaimana keadaanmu?” Tanya Sei. Anju hanya terdiam.
Aku jadi
takut. Kenapa dia tidak mengatakan apa-apa waktu aku bercerita tentang masa
lalu? Seharusnya dia sadar aku keliru.
“Sei… kamu
pasti sudah menyadarinya, kan?” Tanya Anju memutuskan untuk bicara.”Aku telah
salah mengiramu sebagai orang lain.”
“…Ya, aku
sudah tahu.”
“Sudah
tahu!?” kalau begitu…”Kamu mempermainkanku, ya?”
“…” ucapan
itu membuat Sei terdiam sesaat. “Menurutmu begitu?” Sei menutup mata. “Kalau…
menurutmu begitu… maka benar begitu.”
‘Kalau
menurutmu begitu, maka benar begitu.’ Dia tidak menyangkalnya… sepertinya… ada
yang tidak kumengerti… sedih… sesak… jarak ini benar-benar menyesakkan.
“Ah, aku
harus konsentrasi pada pelajaran.” Pikir Anju. Ia membuka tasnya. “Eh? Ya
ampun! Lagi-lagi lupa bawa tempat pensil!?” Anju menundukkan kepalanya ke
bangku dengan sedih.”Kenapa aku begini bodoh? Aku jadi benci pada diriku
sendiri. Selalu murung….” Anju menutup matanya.
Ketika
membuka mata, Ia melihat sebuah pensil sudah ada di bangkunya. Secara spontan
Ia langsung melirik Sei, dan Sei Nampak pura-pura mengalihkan perhatian.
“Padahal ada kejadian seperti itu… apa dia menolongku karena tahu aku sedang
kebingungan?” pikir Anju. “Sei sedang memasang tampang apa, ya? Waktu itu air
mukanya seperti apa? Aku tidak mengerti… tapi… satu hal yang kumengerti….
Benar, akulah yang pertama kali keliru mengiranya sebagai orang lain….”
Anju menulis
sebuah surat kecil dan menyerahkannya pada Sei disampingnya. Isi surat itu,:
“Untuk Sei… pertama-tama, aku mau minta maaf soal kemarin. Setelah kupikirkan
dengan tenang, aku tahu pasti kalau Sei bukan tipe yang suka mempermainkn
orang. Aku nggak tahu apakah kau mau memaafkan diriku yang telah meragukanmu,
tapi…. Ada yang harus kusampaikan ke Sei. Meskipun bukan cinta pertamaku,
tapi….
…Aku suka
Sei.”
‘Uwaaah, aku
gugup sekali!’ pikir Anju. Ia deg-degan. Kemudian sepucuk surat balasan dari
Sei diterimanya. Isi surat itu…
“Suka.”
Hanya kata
‘Suka’ yang tertulis di surat itu. Benar-benar tipikal Sei sekali. Tapi saat
aku meliriknya, wajahnya tidak seperti Sei yang biasanya (*wajah Sei memerah).
Karena teralu senang, tanpa sadar akupun tertawa.
Sei dan Anju
duduk di bukit itu. Menikmati pemandangan dan angin yang berhembus. Kemudian
Sei berkata, “Sebenarnya.. aku tahu tentang Sei yang asli.”
“Eh?”
“Aku dan Sei
masih kerabat.” Jelas Sei. “Sei bercerit tentang janjinya di bukit ini. Dia
bilang telah membuat janji penting dengan gadis yang penting. Tapi sekarang Sei
sudah punya pacar.”
‘Sei (yang
asli) mengingatnya…’ pikir Anju.
“ ‘Sekarang
aku sudah punya gadis yang jauh lebih penting…jadi aku nggak bisa kesana’,
begitu katanya….” Ucap Sei.
‘Jadi begitu
rupanya…’ pikir Anju. ‘benar-benar tipikal Sei sekali.’
“Menurutku
sikapnya itu egois!” ucap Sei.
“Ah, masa?
Tapi bukankah ceritanya berakhir dengan baik?”
“Soalnya, aku
merasa gadis itu pasti mempercayai janji itu.” Ucap Sei tanpa memperdulikan apa
yang dikatakan Anju. “Kenyataannya, kamu mempercayainya, kan?”
‘Memang…’
pikir Anju. “Jangan-jangan waktu Sei datang, karena mencemaskanku, ya?” Tanya
Anju.
“Cuma
kebetulan. Awalnya, aku nggak ingat soal cerita itu, dan nggak sadar disangka
sebagai orang lain.” Ucap Sei. Ia tersenyum. “Tapi kalau pertemuan itu memang
kebetulan… berarti ini takdir, kan?”
Wajah Anju
memerah. “Ya!”
Cinta
pertamaku tidak terwujud, tapi yang
kutemukan di tempat janjian justru… cinta yang lebih luar biasa…
Ini pasti
tipuan cinta pertama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar