Uzumaki
Disclaimer:
Naruto is Kishimoto’s
Character:
Naruto, Hinata, Uzumaki clan, etc
By; Dhwati
Esti Widhayang
Warning!!
GaJe, alur cepat, dll
Summary: Mata
blue shappire dan rambut jabriknya itu, selalu membuatku terpesona tiap kali
melihatnya…wajahku panas, aku malu…inikah cinta? Namun mengapa darah clannya
harus menghalangi kami?
Pairing:
NaruHina, etc.
Fanfic ini
khusus untuk ulang tahunku hari ini ^^ (11 Januari)
Hinata POV
“se-selamat
pagi, Naruto-kun.” Sapaku ketika berpapasan dengan laki-laki bermata shappire
itu di tangga kelas IX. Laki-laki itu yang awalnya melamun dan tidak menyadari
keberadaanku, terlihat sangat terkejut.
“eh? Um… selamat
pagi, Hinata-chan.” Sapaan Naruto membuat pipiku merona. Kupikir apa yang
kulakukan kemarin akan membuat hubungan kami menjauh. Syukurlah tidak. Aku
sangat menyesal melakukannya…
Flashback
mode: On
“Naruto-kun!”
panggilku saat bertemu Naruto yang baru saja keluar dari perpustakaan.
“Ya?” Naruto
melepas kacamata yang Ia gunakan untuk membaca. Wajahku merona lagi. Ia terlihat
sungguh tampan.
“A-aku…”
wajahku berkeringat. “AkusukaNaruto-kun!!” ucapku cepat-cepat. Aku menunduk,
menunggu jawabannya.
“Hinata-chan,
kamu sakit?”
“Eh?”
“Wajahmu
sangat merah.” Dan kemudian dia membawaku ke UKS. Lalu berakhir disana. Oh, aku
sungguh berharap Naruto tidak perlu mendengar apa yang ku katakan!!
Flashback
mode: Off
Huh,
membayangkannya saja sungguh konyol. Pernyataan cintaku memang tidak ditolak,
tapi untuk mengatakan yang kedua kalinya itu sangat… arrrghhh!!! Naruto adalah
cowok yang lumayan terkenal di sekolah. Tapi keterkenalannya itu baru saja
mulai ketika Ia menyelamatkan guru dari lantai dua. Dia telihat seperti
terbang. Benar-benar seperti terbang. Orang-orang jadi mendekatinya karena
kagum. Padahal, dulu mereka mengasingkan Naruto seolah dia adalah monster
paling hina di dunia ini.
Namun aku
berbeda. Aku berteman dengan Naruto sejak kecil. Aku memberinya semangat untuk
berusaha. Ia dulu terlihat sangat senang tiap kali kuajak bermain. Jadi tidak
pantaskah aku menganggapnya sebagai ‘milikku’?
Tapi dunia
memang berputar (?) *memang ==a. Setelah masuk SMP Naruto tidak pernah lagi
bermain denganku. Kudengar keluarganya yang melarang. Aku tidak mengerti kenapa
satu keluarga bisa melarang seorang anak bermain. Tapi itulah kenyataannya.
Wajah Naruto sekarang berubah. Ia selalu nampak pucat dan tidak bersemangat.
Meskipun, ehm, menurutku Ia tetap tampan…
Naruto POV
Aku berbelok
di tikungan tangga bawah, melesat ke salah satu dinding di pojokan dan
bersandar. Nafasku ngos-ngosan, hampir saja tadi jantungku copot!
Aku terdiam.
Aku teringat lagi sosok perempuan berambut indigo itu. Wajahnya yang memerah
dengan lembut… mata lavendernya… ah, membayangkannya membuatku teringat pada
masa lalu.
“Hinata-chan…”
ucapku pelan. Sangat pelan sampai seperti bisikan.
Perempuan itu
adalah orang yang merubah hidupku. Aku jadi mengerti arti kehidupan, bagaimana
semangat bisa merubah semua keadaan. Dan semua itu diajarkan olehnya. Aku
selalu merasa senang ketika berada disebelahnya. Hal yang kutahu selanjutnya
adalah aku menyukainya.
“Tidak, tidak
boleh” aku menggelengkan kepala. Aku tidak boleh berpikir begitu. Clan Uzumaki-ku
bukanlah clan yang pantas bersosialisasi. Ibu memberitahuku beberapa hal yang
tidak boleh kulakukan. Dan salah satunya adalah menjauhi orang yang kusukai.
Ya, yang kusukai. Karena jika tidak, keselamatan orang itu bisa terancam…
bagaimanapun juga, aku tidak bisa jauh dari Hinata-chan. Aku sungguh
menyukainya dan aku baru tahu itu tidak bertepuk sebelah tangan kemarin. Aku
merasa menyesal tidak membalas kata-katanya.
“Su-suka…”
“Wah, wah…”
ucap seseorang yang bersandar di tembok sambil melipat tangannya. Mata hitam
dan rambut hitamnya nampak serasi. Rambut jabriknya juga… dan goresan kucing di
pipinya. “Wajahmu memerah, Naruto…”
“Me-Menma!?
Apa? Aku….” Segera aku menutupi wajahku dengan sapu tangan. Saudara kembarku
itu tidak boleh mengetahui sesuatu. Apapun itu!
Menma
mendekat beberapa langkah ke arahku. Pembawaanya yang seram membuatku
berkeringat. Ia nampak dingin dan seolah mampu menaklukanku hanya dengan
tatapan mata. Ia sungguh cocok menjadi anggota clan kami. Sedangkan aku? Orang
ceria yang merusak segalanya.
“Ah, Naruto…”
Ia berjalan ke belakangku, kemudian menggores leherku dengan kukunya. “Jangan
lupakan pesan mama, ya…. Fufufu.”
Tidak ada
yang terjadi dengan goresan itu untuk beberapa saat, kemudian.. craaat!!! Darah
mengucur dari luka yang tiba-tiba muncul di leherku.
“Ukh…” Aku
segera menutupi luka itu. “Menma, aku tidak―”
Laki-laki
berambut hitam itu menjilat darahku, matanya langsung berubah merah. “Selamat
tidur, Naruto-chan.”
Pandanganku
kabur. Sial, dia pasti menaruh racun di kukunya. Aku… aku… Bruuukk!! Lututku
lemas, aku terjatuh. Yang terakhir kulihat adalah pandangan jijik dari saudara
kembarku itu sebelum semuanya menjadi gelap.
…
…
Sinar
matahari menembus pelupuk mataku. Aku mendengar suara mobil yang melaju, dan
aroma rumput yang tersiram air hujan pertama. Aku membuka mata perlahan,
kepalaku pusing sekali dan pikiranku kacau.
“Naruto, kau
sudah bangun?”
“Umm…” aku
membuka mata lebih lebar untuk melihat siapa yang berbicara. “Ayah…?” aku
membangunkan diriku dengan gesit dan, DUKK!! Kepalaku mengenai atap mobil.
“Ini… mobilnya… kita akan kemana!?”
“Pindah
rumah.” Jawab ibuku, Kushina Uzumaki yang duduk di kursi depan bersama ayah.
Menma yang duduk disampingku, mengalihkan pandangan dan lebih memilih menatap
ke luar melalui jendela mobil.
“Apa!? Tapi…
sekolah…Aku…”
“Ayah sudah
mengurus semuanya.” Ucap ayahku. Siapa lagi kalau bukan Minato Namikaze.
“Tapi kenapa
secepat ini? Maksudku… aku belum membereskan barang-barangku, dan…”
“Barang-barangmu
sudah ada di bagasi.” Sahut ibu.
“Tapi teman-temanku…
aku belum berpamitan!!”
“Nah, itulah
alasannya kita pindah.” Ucap Menma tiba-tiba. Menatapku dengan mata tajamnya.
Ia mendengus kesal. “Kamu bodoh, Naruto. Kita ini berbeda! Kalau kamu memang
mau bergaul dengan manusia, jangan dekati mereka! Kamu mau mereka terbunuh!?
Kamu belum bisa menyadari kalau kita berbeda?”
Aku
memalingkan wajahku. “Aku…hanya menyapa.”
“Kamu bahkan
belum bisa mengendalikan nafsumu sebaik aku!” Menma melipat tangannya. “Dan
sudah bertindak sesombong ini… huh…”
“Aku…meskipun
tidak bisa mengendalikannya… tapi…” aku tertegun. Sebenarnya aku tidak terlalu
yakin. “Aku tidak suka darah.”
Menma
memandangku, berusaha mencari kebohongan di antara kedua mataku. Karena tidak tahan dipandangi begitu, akhirnya aku
melanjutkan, “Maksudku, kalau ada darah… aku cukup menghindar, bukan?”
Menma
menghela nafas pelan. “Sudah kuduga.. kamu tidak mengerti. Baik, dengar…” Ia
memegang kedua pundakku dan memposisikan aku agar menghadap langsung ke
arahnya. “Darah itu… bagaimana mengatakannya, ya? Sangat lezat.” Ia menjulurkan
lidahnya keluar dengan gerakan-menjilat-bagian-atas-bibir. “Kau tidak akan
tahan…kau akan berada dalam keadaan hidup dan mati jika menahannya.”
Ekspresinya serius sekarang. “Apa kau mengerti?”
Ayah dan Ibu
menatapku. Menma juga. Mereka menunggu jawabanku. Aku memang belum mengerti,
dan aku bukanlah anggota clan yang dewasa. Tapi… kalau ini memang membahayakan
Hinata-chan…
“He-em.” Aku
mengangguk.
Clan Uzumaki.
Kami adalah clan yang sedikit berbeda dari clan lainnya. Jika clan lainnya
manusia(?)*tentu saja manusia*, kami agak sedikit berbeda. Kami sedikit susah
bersosialisasi karena kami memang tidak ditakdirkan bersosialisasi dengan
manusia. Kami ini, Dracula.
Naruto POV: End
Naruto POV: End
Jam sekolah sudah
usai, sore itu Hinata duduk di taman sekolah. Entah hal apa yang membuatnya
tidak langsung pulang.
“Kamu kenapa,
Hinata-chan?” tanya seorang siswa yang menghampiri Hinata. “Kamu terlihat
melamun.”
“Bu..bukan
apa-apa…” Hinata mengusap air matanya yang hampir jatuh, Ia berusaha tersenyum
walau matanya merah. “Mataku hanya sedikit berkabut.”
Teman Hinata
itu duduk disebelah Hinata. Ia menyodorkan sebuah sapu tangan. “Pakailah…”
Hinata sedikit malu-malu, meskipun pada akhirnya tetap menerimanya.
“Terima
kasih, Kiba-kun…” ucap Hinata tersenyum ke siswa disebelahnya.
“Ini… karena
Naruto, ya?” tanya siswa bernama Kiba itu. Ia bertanya pada Hinata, namun
memandang ke bawah, seolah takut pertanyaan itu menyakiti hati Hinata.
“Bu-bukan
kok… sungguh…” elak Hinata. Sebenarnya memang karena itu. Karena kabar yang
mengatakan Naruto pindah siang ini. Ia hanya merasa sedikit sedih, karena
temannya itu tidak berpamitan padanya. Tidak, bukan hanya karena itu…
“Aku tahu kok
perasaan Hinata-chan…” Kiba tersenyum. “Karena selama ini aku juga merasakan hal
yang sama… karena aku tidak dapat mengatakan yang sebenarnya pada
Hinata-chan…karena aku―”
“Kiba-kun,
jangan bilang kalau―” potong Hinata. Ia memandang mata laki-laki itu. Ia tidak
bisa melakukannya, Ia tidak boleh melakukannya! Hinata hanya mencintai Naruto. Hinata
tidak melanjutkan ucapannya. Ia hanya diam menunduk. Ia tidak mau Kiba
mengalami hal yang sama, perasaan yang tak tersampaikan.
“Pfffttt…
hahahaha” Kiba tertawa. “Kenapa kau diam begitu? Hinata bodoh! Sudah berapa
tahun kita menjadi teman? Kau belum hapal sifatku, ya?”
“eh?
Kiba-kun, kau mengerjaiku?”
“Ya, tentu
saja.” Kiba masih tertawa meskipun di matanya terlihat secercah kebohongan.
“Hm, kau menyukai Naruto, tapi tidak mengatakannya… bagaimana dia akan tahu!?”
Kiba bangkit berdiri. “Mari kita kejar cintamu.”
“Eh?”
Rintik hujan
mulai turun dari angkasa. Ini pasti awal musim hujan. Butiran-butiran air
mengiringi langkah Kiba dan Hinata, mereka berusaha secepat mungkin ke bandara
untuk mengejar Naruto. Yah, meskipun mereka akan kesulitan mengejar karena
Naruto menggunakan mobil, tapi Kiba meyakinkan,
“Aku tahu
jalan pintas.” Ucap Kiba sambil menggenggam erat tangan Hinata dan mengajaknya
berlari lebih cepat.
Sementara
itu, Naruto sudah sampai di bandara. Minato memarkir mobilnya sementara yang
lain bersiap untuk naik ke pesawat yang akan berangkat beberapa menit lagi.
Tentu saja Naruto yang terlihat paling lesu. Beberapa saat kemudian para
penumpang dipanggil untuk menaiki pesawat..
“Hosh, hosh…
Hinata, ini bandaranya, kan!?” tanya Kiba. Ia terlihat sangat lelah meski dalam
selimutan air hujan. Untung Ia selalu mengenakan jaket berbulu itu. Tidak,
kurasa semua tim mereka memakai jaket. Kiba, Hinata, Shino…
“Um…” Hinata
ragu-ragu untuk melangkah. Ia justru memainkan kedua jari telunjuknya. “Anu,
ng… lalu apa yang harus kukatakan?”
“Eh?” Kiba
memandang Hinata dengan pandangan jangan-bercanda-disaat-seperti-ini. “Tentu
saja… apa yang kau rasakan…” panggilan untuk mengingatkan penumpang bahwa
pesawat akan segera lepas landas kembali berbunyi. Panggilan itu seolah
meendorong hasrat Hinata untuk berlari.
“Naruto…Naruto…!”
Ia berlari, Kiba mengikuti. Hinata seolah sudah tidak menyadari keberadaan
Kiba. Seolah Naruto lah yang saat ini satu-satunya ada dipikirannya. Tapi
larinya terhenti. Ia dipinta memasukkan card dan sebagainya. “Orang yang naik
pesawat itu teman saya, saya mohon… saya tidak akan bisa berjumpa lagi
dengannya… kalau begini…kumohon…aku…” ucap Hinata ke administrator.
“Maaf, nona…
pesawat akan segera lepas landas, itu bisa membahayakan…” ucap si
administrator.
“Tapi…”
Hinata menyadari sudah tidak adanya kesempatan. Dari kaca disampingnya Ia
menyaksikan pesawat sudah lepas landas. “…Dia bahkan… belum mengucapkan
‘selamat tinggal’ “ Hinata menangis pelan. Tangisannya menarik perhatian
orang-orang yang duduk di ruang tunggu. Suasana disana tiba-tiba hening. Yang
terdengar hanya isak tangis Hinata.
“Hinata-chan…
‘dia’ itu siapa…?” tanya seseorang dari belakang.
“Su-sudahlah
Kiba-kun… hiks… jangan iseng dulu… hiks… sudah jelas itu Naruto….” Hinata
mengira orang itu Kiba. Namun ketika Ia mendongak ke depan, Kiba terlihat baru
saja datang. Rupanya tadi Hinata berlari terlalu cepat hingga membuat Kiba
tertinggal. “Eh? Lalu…?” Hinata membalikkan tubuhnya.
“Hahaha…”
Naruto menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Wajahnya bersemu merah. “Karena
aku, ya…?”
Hinata belum
dapat mencerna apa yang terjadi. “Naruto? Bukankah pesawatnya sudah…”
“Hahaha…
Hinata-chan, kami mendapat giliran jam berikutnya.” Naruto tersenyum manis,
kemudian menunjukkan tiket yang dibawanya. Wajah Hinata memerah. “Jadi, apa
yang terjadi disini?”
Hinata
menatap Kiba, dan Kiba mengangguk mendukungnya. “Aku… Naruto… sebenarnya…”
tiba-tiba Menma datang dan menjauhkan Naruto dari Hinata. Matanya nampak merah, membuat calon penumpang lain ketakutan.
tiba-tiba Menma datang dan menjauhkan Naruto dari Hinata. Matanya nampak merah, membuat calon penumpang lain ketakutan.
“Kau tidak
boleh mengatakannya disini…” ucap Menma dengan suara serak yang tak biasa. Dan
gigi runcing yang tak biasa juga. “Perasaanmu itu… Naruto tidak boleh mendengarnya…”
“Um?” Minato
dan Kushina tertegun. Perasaan Naruto...
“Tapi…” ucap
Hinata bingung. “Kenapa…? Padahal aku sangat―”
“Grrroooaaarrrr…!!!”
Menma melesat dan menyayat tangan Hinata hingga berdarah. Menma menutup hidung
Naruto dengan paksa. Meskipun Naruto sudah memberontak, tetap saja Menma lebih
kuat darinya. Hinata nampak kesakitan. “Sudah kukatakan jangan mengatakannya!! Inilah
alasannya…” dengan sangat perlahan, Menma melepas tangannya yang menutup hidung
Naruto.
“Ukh… aku…”
tubuh Naruto jadi lemas ketika mencium bau darah Hinata. Ia terjatuh dan
ambruk. Kemudian secara tiba-tiba muncul aura merah diseluruh tubuhnya. Naruto
mengangkat kepalanya dan terlihat dia punya dua taring sekarang. Dan mata blue
shappirenya perlahan berubah merah.
“Cukup,
Menma!!” teriak Kushina. Dengan kekuatannya yang didapat dari mana mungkin dan
dikarang oleh Author (?), Kushina menghentikan waktu. Tujuannya untuk mencegah
orang lain menyaksikan apa yang akan terjadi selanjutnya.
“Hinata-chan!!”
Kiba meraih Hinata dan menjauhkannya dari para Clan Uzumaki itu. Sementara
Naruto dengan wujudnya yang sekarang, terus mengikuti mereka berdua. Dengan
gesitnya Minato menahan Naruto dan menggunakan segel (?) hingga Naruto tidak
sadarkan diri. Hingga Ia kembali pada kondisi normal.
Hinata dan
Kiba terdiam. Sudahkah semuanya usai? Mereka berdua nampak shock.
“Tutupi lukamu itu, nak…” pinta Minato memandang tangan Hinata yang terluka. Dengan segera Kiba merobek bajunya untuk menutupi luka Hinata.
“Tutupi lukamu itu, nak…” pinta Minato memandang tangan Hinata yang terluka. Dengan segera Kiba merobek bajunya untuk menutupi luka Hinata.
“Darah…” Menma
memandang ke luka Hinata. “Itulah alasan kami menjauhkan Naruto darimu.. karena
kau memiliki darah…” Ia menghirup aroma sesaat, sangat menghayati. “Baunya… ah,
tahukah kau bahwa Naruto tidak bisa mengendalikan nafsu clannya? Darah adalah
sesuatu yang membuat kami kenyang. Jadi kau jangan seenaknya mendekati kami
dengan darah yang tersedia gratis di dalam tubuhmu itu…”
Hinata miris
mendengar itu. Semua alasan itu. Naruto pelan-pelan mulai sadar dan bergumam
pelan ‘Hinata-chan…’ membuat Hinata sedikit tersenyum. “Jadi apa yang
seharusnya kulakukan?” tanya Hinata.
“Menjauh dari
kami.” Jawab Menma. Hinata berdiri, meraih tangan Kiba dan berjalan keluar dari
ruangan itu. Begitu saja.
“Hinata-chan…”
panggil Naruto yang masih terbaring. Hinata berbalik dan memandang Naruto. Mata
blue shappire dan lavender mereka bertemu. “Suka… aku…” wajah Naruto memerah
dan Ia menangis. “Suka…sama…Hinata…”
Naruto
berdiri dan memegang tangan Hinata, kemudian berlari bersamanya. Tidak ada yang
bisa menghentikannya.Bahkan Kiba yang memiliki perasaan terhadap gadis berambut indigo itu. Tidak ada yang bisa menghentikan dua orang yang saling mencintai
untuk memiliki. Dan semenjak itu Naruto dan Hinata tidak ada kabarnya. Menurut
gossip yang beredar, mereka sudah menikah*.
*Tamat*
Begitulah
walaupun gaje akhirnya selesai juga xD …
Happy Birthday for Me!! ^0^
Happy Birthday for Me!! ^0^
Tidak ada komentar:
Posting Komentar