Senin, 14 Januari 2013

Uzumaki--a fanfiction by Dhwati Esti Widhayang



Uzumaki
Disclaimer: Naruto is Kishimoto’s
Character: Naruto, Hinata, Uzumaki clan, etc
By; Dhwati Esti Widhayang
Warning!! GaJe, alur cepat, dll
Summary: Mata blue shappire dan rambut jabriknya itu, selalu membuatku terpesona tiap kali melihatnya…wajahku panas, aku malu…inikah cinta? Namun mengapa darah clannya harus menghalangi kami?
Pairing: NaruHina, etc.
Fanfic ini khusus untuk ulang tahunku hari ini ^^ (11 Januari)
.

.
Hinata POV
“se-selamat pagi, Naruto-kun.” Sapaku ketika berpapasan dengan laki-laki bermata shappire itu di tangga kelas IX. Laki-laki itu yang awalnya melamun dan tidak menyadari keberadaanku, terlihat sangat terkejut.
“eh? Um… selamat pagi, Hinata-chan.” Sapaan Naruto membuat pipiku merona. Kupikir apa yang kulakukan kemarin akan membuat hubungan kami menjauh. Syukurlah tidak. Aku sangat menyesal melakukannya…
Flashback mode: On
“Naruto-kun!” panggilku saat bertemu Naruto yang baru saja keluar dari perpustakaan.
“Ya?” Naruto melepas kacamata yang Ia gunakan untuk membaca. Wajahku merona lagi. Ia terlihat sungguh tampan.
“A-aku…” wajahku berkeringat. “AkusukaNaruto-kun!!” ucapku cepat-cepat. Aku menunduk, menunggu jawabannya.
“Hinata-chan, kamu sakit?”
“Eh?”
“Wajahmu sangat merah.” Dan kemudian dia membawaku ke UKS. Lalu berakhir disana. Oh, aku sungguh berharap Naruto tidak perlu mendengar apa yang ku katakan!!
Flashback mode: Off
Huh, membayangkannya saja sungguh konyol. Pernyataan cintaku memang tidak ditolak, tapi untuk mengatakan yang kedua kalinya itu sangat… arrrghhh!!! Naruto adalah cowok yang lumayan terkenal di sekolah. Tapi keterkenalannya itu baru saja mulai ketika Ia menyelamatkan guru dari lantai dua. Dia telihat seperti terbang. Benar-benar seperti terbang. Orang-orang jadi mendekatinya karena kagum. Padahal, dulu mereka mengasingkan Naruto seolah dia adalah monster paling hina di dunia ini.
Namun aku berbeda. Aku berteman dengan Naruto sejak kecil. Aku memberinya semangat untuk berusaha. Ia dulu terlihat sangat senang tiap kali kuajak bermain. Jadi tidak pantaskah aku menganggapnya sebagai ‘milikku’?
Tapi dunia memang berputar (?) *memang ==a. Setelah masuk SMP Naruto tidak pernah lagi bermain denganku. Kudengar keluarganya yang melarang. Aku tidak mengerti kenapa satu keluarga bisa melarang seorang anak bermain. Tapi itulah kenyataannya. Wajah Naruto sekarang berubah. Ia selalu nampak pucat dan tidak bersemangat. Meskipun, ehm, menurutku Ia tetap tampan…

Naruto POV
Aku berbelok di tikungan tangga bawah, melesat ke salah satu dinding di pojokan dan bersandar. Nafasku ngos-ngosan, hampir saja tadi jantungku copot!
Aku terdiam. Aku teringat lagi sosok perempuan berambut indigo itu. Wajahnya yang memerah dengan lembut… mata lavendernya… ah, membayangkannya membuatku teringat pada masa lalu.
“Hinata-chan…” ucapku pelan. Sangat pelan sampai seperti bisikan.
Perempuan itu adalah orang yang merubah hidupku. Aku jadi mengerti arti kehidupan, bagaimana semangat bisa merubah semua keadaan. Dan semua itu diajarkan olehnya. Aku selalu merasa senang ketika berada disebelahnya. Hal yang kutahu selanjutnya adalah aku menyukainya.
“Tidak, tidak boleh” aku menggelengkan kepala. Aku tidak boleh berpikir begitu. Clan Uzumaki-ku bukanlah clan yang pantas bersosialisasi. Ibu memberitahuku beberapa hal yang tidak boleh kulakukan. Dan salah satunya adalah menjauhi orang yang kusukai. Ya, yang kusukai. Karena jika tidak, keselamatan orang itu bisa terancam… bagaimanapun juga, aku tidak bisa jauh dari Hinata-chan. Aku sungguh menyukainya dan aku baru tahu itu tidak bertepuk sebelah tangan kemarin. Aku merasa menyesal tidak membalas kata-katanya.
“Su-suka…”
“Wah, wah…” ucap seseorang yang bersandar di tembok sambil melipat tangannya. Mata hitam dan rambut hitamnya nampak serasi. Rambut jabriknya juga… dan goresan kucing di pipinya. “Wajahmu memerah, Naruto…”
“Me-Menma!? Apa? Aku….” Segera aku menutupi wajahku dengan sapu tangan. Saudara kembarku itu tidak boleh mengetahui sesuatu. Apapun itu!
Menma mendekat beberapa langkah ke arahku. Pembawaanya yang seram membuatku berkeringat. Ia nampak dingin dan seolah mampu menaklukanku hanya dengan tatapan mata. Ia sungguh cocok menjadi anggota clan kami. Sedangkan aku? Orang ceria yang merusak segalanya.
“Ah, Naruto…” Ia berjalan ke belakangku, kemudian menggores leherku dengan kukunya. “Jangan lupakan pesan mama, ya…. Fufufu.”
Tidak ada yang terjadi dengan goresan itu untuk beberapa saat, kemudian.. craaat!!! Darah mengucur dari luka yang tiba-tiba muncul di leherku.
“Ukh…” Aku segera menutupi luka itu. “Menma, aku tidak―”
Laki-laki berambut hitam itu menjilat darahku, matanya langsung berubah merah. “Selamat tidur, Naruto-chan.”
Pandanganku kabur. Sial, dia pasti menaruh racun di kukunya. Aku… aku… Bruuukk!! Lututku lemas, aku terjatuh. Yang terakhir kulihat adalah pandangan jijik dari saudara kembarku itu sebelum semuanya menjadi gelap.
Sinar matahari menembus pelupuk mataku. Aku mendengar suara mobil yang melaju, dan aroma rumput yang tersiram air hujan pertama. Aku membuka mata perlahan, kepalaku pusing sekali dan pikiranku kacau. 
“Naruto, kau sudah bangun?”
“Umm…” aku membuka mata lebih lebar untuk melihat siapa yang berbicara. “Ayah…?” aku membangunkan diriku dengan gesit dan, DUKK!! Kepalaku mengenai atap mobil. “Ini… mobilnya… kita akan kemana!?”
“Pindah rumah.” Jawab ibuku, Kushina Uzumaki yang duduk di kursi depan bersama ayah. Menma yang duduk disampingku, mengalihkan pandangan dan lebih memilih menatap ke luar melalui jendela mobil.
“Apa!? Tapi… sekolah…Aku…”
“Ayah sudah mengurus semuanya.” Ucap ayahku. Siapa lagi kalau bukan Minato Namikaze.
“Tapi kenapa secepat ini? Maksudku… aku belum membereskan barang-barangku, dan…”
“Barang-barangmu sudah ada di bagasi.” Sahut ibu.
“Tapi teman-temanku… aku belum berpamitan!!”
“Nah, itulah alasannya kita pindah.” Ucap Menma tiba-tiba. Menatapku dengan mata tajamnya. Ia mendengus kesal. “Kamu bodoh, Naruto. Kita ini berbeda! Kalau kamu memang mau bergaul dengan manusia, jangan dekati mereka! Kamu mau mereka terbunuh!? Kamu belum bisa menyadari kalau kita berbeda?”
Aku memalingkan wajahku. “Aku…hanya menyapa.”
“Kamu bahkan belum bisa mengendalikan nafsumu sebaik aku!” Menma melipat tangannya. “Dan sudah bertindak sesombong ini… huh…”
“Aku…meskipun tidak bisa mengendalikannya… tapi…” aku tertegun. Sebenarnya aku tidak terlalu yakin. “Aku tidak suka darah.”
Menma memandangku, berusaha mencari kebohongan di antara kedua mataku. Karena  tidak tahan dipandangi begitu, akhirnya aku melanjutkan, “Maksudku, kalau ada darah… aku cukup menghindar, bukan?”
Menma menghela nafas pelan. “Sudah kuduga.. kamu tidak mengerti. Baik, dengar…” Ia memegang kedua pundakku dan memposisikan aku agar menghadap langsung ke arahnya. “Darah itu… bagaimana mengatakannya, ya? Sangat lezat.” Ia menjulurkan lidahnya keluar dengan gerakan-menjilat-bagian-atas-bibir. “Kau tidak akan tahan…kau akan berada dalam keadaan hidup dan mati jika menahannya.” Ekspresinya serius sekarang. “Apa kau mengerti?”
Ayah dan Ibu menatapku. Menma juga. Mereka menunggu jawabanku. Aku memang belum mengerti, dan aku bukanlah anggota clan yang dewasa. Tapi… kalau ini memang membahayakan Hinata-chan…
“He-em.” Aku mengangguk.
Clan Uzumaki. Kami adalah clan yang sedikit berbeda dari clan lainnya. Jika clan lainnya manusia(?)*tentu saja manusia*, kami agak sedikit berbeda. Kami sedikit susah bersosialisasi karena kami memang tidak ditakdirkan bersosialisasi dengan manusia. Kami ini, Dracula.

Naruto POV: End
Jam sekolah sudah usai, sore itu Hinata duduk di taman sekolah. Entah hal apa yang membuatnya tidak langsung pulang.
“Kamu kenapa, Hinata-chan?” tanya seorang siswa yang menghampiri Hinata. “Kamu terlihat melamun.”
“Bu..bukan apa-apa…” Hinata mengusap air matanya yang hampir jatuh, Ia berusaha tersenyum walau matanya merah. “Mataku hanya sedikit berkabut.”
Teman Hinata itu duduk disebelah Hinata. Ia menyodorkan sebuah sapu tangan. “Pakailah…” Hinata sedikit malu-malu, meskipun pada akhirnya tetap menerimanya. 
“Terima kasih, Kiba-kun…” ucap Hinata tersenyum ke siswa disebelahnya.
“Ini… karena Naruto, ya?” tanya siswa bernama Kiba itu. Ia bertanya pada Hinata, namun memandang ke bawah, seolah takut pertanyaan itu menyakiti hati Hinata.
“Bu-bukan kok… sungguh…” elak Hinata. Sebenarnya memang karena itu. Karena kabar yang mengatakan Naruto pindah siang ini. Ia hanya merasa sedikit sedih, karena temannya itu tidak berpamitan padanya. Tidak, bukan hanya karena itu…
“Aku tahu kok perasaan Hinata-chan…” Kiba tersenyum. “Karena selama ini aku juga merasakan hal yang sama… karena aku tidak dapat mengatakan yang sebenarnya pada Hinata-chan…karena aku―”
“Kiba-kun, jangan bilang kalau―” potong Hinata. Ia memandang mata laki-laki itu. Ia tidak bisa melakukannya, Ia tidak boleh melakukannya! Hinata hanya mencintai Naruto. Hinata tidak melanjutkan ucapannya. Ia hanya diam menunduk. Ia tidak mau Kiba mengalami hal yang sama, perasaan yang tak tersampaikan.
“Pfffttt… hahahaha” Kiba tertawa. “Kenapa kau diam begitu? Hinata bodoh! Sudah berapa tahun kita menjadi teman? Kau belum hapal sifatku, ya?”
“eh? Kiba-kun, kau mengerjaiku?”
“Ya, tentu saja.” Kiba masih tertawa meskipun di matanya terlihat secercah kebohongan. “Hm, kau menyukai Naruto, tapi tidak mengatakannya… bagaimana dia akan tahu!?” Kiba bangkit berdiri. “Mari kita kejar cintamu.”
“Eh?”
Rintik hujan mulai turun dari angkasa. Ini pasti awal musim hujan. Butiran-butiran air mengiringi langkah Kiba dan Hinata, mereka berusaha secepat mungkin ke bandara untuk mengejar Naruto. Yah, meskipun mereka akan kesulitan mengejar karena Naruto menggunakan mobil, tapi Kiba meyakinkan,
“Aku tahu jalan pintas.” Ucap Kiba sambil menggenggam erat tangan Hinata dan mengajaknya berlari lebih cepat. 
Sementara itu, Naruto sudah sampai di bandara. Minato memarkir mobilnya sementara yang lain bersiap untuk naik ke pesawat yang akan berangkat beberapa menit lagi. Tentu saja Naruto yang terlihat paling lesu. Beberapa saat kemudian para penumpang dipanggil untuk menaiki pesawat..
“Hosh, hosh… Hinata, ini bandaranya, kan!?” tanya Kiba. Ia terlihat sangat lelah meski dalam selimutan air hujan. Untung Ia selalu mengenakan jaket berbulu itu. Tidak, kurasa semua tim mereka memakai jaket. Kiba, Hinata, Shino…
“Um…” Hinata ragu-ragu untuk melangkah. Ia justru memainkan kedua jari telunjuknya. “Anu, ng… lalu apa yang harus kukatakan?”
“Eh?” Kiba memandang Hinata dengan pandangan jangan-bercanda-disaat-seperti-ini. “Tentu saja… apa yang kau rasakan…” panggilan untuk mengingatkan penumpang bahwa pesawat akan segera lepas landas kembali berbunyi. Panggilan itu seolah meendorong hasrat Hinata untuk berlari.
“Naruto…Naruto…!” Ia berlari, Kiba mengikuti. Hinata seolah sudah tidak menyadari keberadaan Kiba. Seolah Naruto lah yang saat ini satu-satunya ada dipikirannya. Tapi larinya terhenti. Ia dipinta memasukkan card dan sebagainya. “Orang yang naik pesawat itu teman saya, saya mohon… saya tidak akan bisa berjumpa lagi dengannya… kalau begini…kumohon…aku…” ucap Hinata ke administrator.
“Maaf, nona… pesawat akan segera lepas landas, itu bisa membahayakan…” ucap si administrator.
“Tapi…” Hinata menyadari sudah tidak adanya kesempatan. Dari kaca disampingnya Ia menyaksikan pesawat sudah lepas landas. “…Dia bahkan… belum mengucapkan ‘selamat tinggal’ “ Hinata menangis pelan. Tangisannya menarik perhatian orang-orang yang duduk di ruang tunggu. Suasana disana tiba-tiba hening. Yang terdengar hanya isak tangis Hinata.
“Hinata-chan… ‘dia’ itu siapa…?” tanya seseorang dari belakang.
“Su-sudahlah Kiba-kun… hiks… jangan iseng dulu… hiks… sudah jelas itu Naruto….” Hinata mengira orang itu Kiba. Namun ketika Ia mendongak ke depan, Kiba terlihat baru saja datang. Rupanya tadi Hinata berlari terlalu cepat hingga membuat Kiba tertinggal. “Eh? Lalu…?” Hinata membalikkan tubuhnya.
“Hahaha…” Naruto menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Wajahnya bersemu merah. “Karena aku, ya…?”
Hinata belum dapat mencerna apa yang terjadi. “Naruto? Bukankah pesawatnya sudah…”
“Hahaha… Hinata-chan, kami mendapat giliran jam berikutnya.” Naruto tersenyum manis, kemudian menunjukkan tiket yang dibawanya. Wajah Hinata memerah. “Jadi, apa yang terjadi disini?”
Hinata menatap Kiba, dan Kiba mengangguk mendukungnya. “Aku… Naruto… sebenarnya…” 
tiba-tiba Menma datang dan menjauhkan Naruto dari Hinata. Matanya nampak merah, membuat calon penumpang lain ketakutan.
“Kau tidak boleh mengatakannya disini…” ucap Menma dengan suara serak yang tak biasa. Dan gigi runcing yang tak biasa juga. “Perasaanmu itu… Naruto tidak boleh mendengarnya…”
“Um?” Minato dan Kushina tertegun. Perasaan Naruto...
“Tapi…” ucap Hinata bingung. “Kenapa…? Padahal aku sangat―”
“Grrroooaaarrrr…!!!” Menma melesat dan menyayat tangan Hinata hingga berdarah. Menma menutup hidung Naruto dengan paksa. Meskipun Naruto sudah memberontak, tetap saja Menma lebih kuat darinya. Hinata nampak kesakitan. “Sudah kukatakan jangan mengatakannya!! Inilah alasannya…” dengan sangat perlahan, Menma melepas tangannya yang menutup hidung Naruto.
“Ukh… aku…” tubuh Naruto jadi lemas ketika mencium bau darah Hinata. Ia terjatuh dan ambruk. Kemudian secara tiba-tiba muncul aura merah diseluruh tubuhnya. Naruto mengangkat kepalanya dan terlihat dia punya dua taring sekarang. Dan mata blue shappirenya perlahan berubah merah.
“Cukup, Menma!!” teriak Kushina. Dengan kekuatannya yang didapat dari mana mungkin dan dikarang oleh Author (?), Kushina menghentikan waktu. Tujuannya untuk mencegah orang lain menyaksikan apa yang akan terjadi selanjutnya.
“Hinata-chan!!” Kiba meraih Hinata dan menjauhkannya dari para Clan Uzumaki itu. Sementara Naruto dengan wujudnya yang sekarang, terus mengikuti mereka berdua. Dengan gesitnya Minato menahan Naruto dan menggunakan segel (?) hingga Naruto tidak sadarkan diri. Hingga Ia kembali pada kondisi normal.
Hinata dan Kiba terdiam. Sudahkah semuanya usai? Mereka berdua nampak shock.
“Tutupi lukamu itu, nak…” pinta Minato memandang tangan Hinata yang terluka. Dengan segera Kiba merobek bajunya untuk menutupi luka Hinata.
“Darah…” Menma memandang ke luka Hinata. “Itulah alasan kami menjauhkan Naruto darimu.. karena kau memiliki darah…” Ia menghirup aroma sesaat, sangat menghayati. “Baunya… ah, tahukah kau bahwa Naruto tidak bisa mengendalikan nafsu clannya? Darah adalah sesuatu yang membuat kami kenyang. Jadi kau jangan seenaknya mendekati kami dengan darah yang tersedia gratis di dalam tubuhmu itu…”
Hinata miris mendengar itu. Semua alasan itu. Naruto pelan-pelan mulai sadar dan bergumam pelan ‘Hinata-chan…’ membuat Hinata sedikit tersenyum. “Jadi apa yang seharusnya kulakukan?” tanya Hinata.
“Menjauh dari kami.” Jawab Menma. Hinata berdiri, meraih tangan Kiba dan berjalan keluar dari ruangan itu. Begitu saja.
“Hinata-chan…” panggil Naruto yang masih terbaring. Hinata berbalik dan memandang Naruto. Mata blue shappire dan lavender mereka bertemu. “Suka… aku…” wajah Naruto memerah dan Ia menangis.  “Suka…sama…Hinata…”
Naruto berdiri dan memegang tangan Hinata, kemudian berlari bersamanya. Tidak ada yang bisa menghentikannya.Bahkan Kiba yang memiliki perasaan terhadap gadis berambut indigo itu. Tidak ada yang bisa menghentikan dua orang yang saling mencintai untuk memiliki. Dan semenjak itu Naruto dan Hinata tidak ada kabarnya. Menurut gossip yang beredar, mereka sudah menikah*.
*Tamat*
Begitulah walaupun gaje akhirnya selesai juga xD …
Happy Birthday for Me!! ^0^

Tidak ada komentar:

Posting Komentar