Pengertian, Sejarah, Tugas dan Wewenang, Kedudukan, serta Susunan Persidangan Peradilan Militer
Disusun oleh:
Dhwati Esti Widhayang
Dhwati Esti Widhayang
Oci Qonita Londo Woro
1.
Pengertian
Pengadilan Utama Militer merupakan badan pelaksana
kekuasaan peradilan di bawah Mahkamah Agung
di lingkungan militer yang bertugas untuk memeriksa dan memutus pada tingkat
banding perkara pidana dan sengketa Tata Usaha
Angkatan Bersenjata yang telah diputus
pada tingkat pertama oleh Pengadilan Tinggi Militer
yang dimintakan banding.
Selain itu, Pengadilan Utama Militer juga dapat memutus pada tingkat pertama
dan terakhir semua sengketa tentang wewenang mengadili antar Pengadilan Militer yang berkedudukan di daerah
hukum Pengadilan Tinggi Militer yang berlainan, antar Pengadilan Militer Tinggi, dan antara Pengadilan Tinggi Militer dengan Pengadilan Militer.
2.
Sejarah
A. Masa Pendudukan Belanda dan Jepang
Sebelum PD II peradilan militer Belanda di kenal dengan nama
‘ Krijgsraad’ dan ‘Hoog Militair Gerechtshof’, hal ini sebagaimana tercantum
dalam bepalingen Betreffende de rechtsmaacht Van De militaire rechter in
nederlands Indie, S. 1934 No. 173 dan De Provisionele Instructie Voor Het
Hoog Militair Gerechtshof Van Nederlands Indie, S.1992 No. 163.
Peradilan ini ruang lingkupnya meliputi pidana materil yang
anggotanya terdiri dari anggota angkatan darat Belanda di Indonesia (Hindia
Belanda) yaitu KNIL dan Angkatan Laut Belanda. Untuk diketahui, Angkatan Laut
ini merupakan bagian integral dari Angkatan Laut kerajaan Belanda (Koninklijke
Marine), sedangkan KNIL merupakan organisasi tersendiri dalam arti terlepas
dari tentatara kerajaan Belanda (Koninklijke Leger). Atas dasar ini maka KNIL
diperiksa dan diadili oleh Krijgsraad untuk tingkat pertama dan Hoog
Militair Gerechtshop pada tingkat banding, sedangkan anggota angkatan laut
diperiksa dan diadili oleh Zee Krijraad dan Hoog Militair Gerecht
Shoof.
Krijgsraad terdapat di kota, Cimahi, Padang, dan Makassar dengan
wilayah meliputi:
- Cimahi : Jawa
Madura, Palembang, Bangka, Belitung, Riau, Jambi, Bengkulu, Lampung,
Kalimantan, Bali, Lombok.
- Padang : Sumbar, Tapanuli,
Aceh dan Sumatera Timur
- Makassar : Sulawesi, Maluku dan Timor
Krijsraad memeriksa dan mengadili perkara pidana pada
tingkat pertama terhadap anggota militer dengan pangkat Kapten ke bawah dan
orang-orang sipil yang bekerja di militer. Sedangkan Hoog Militair Gerecht
shoof merupakan pengadilan militer instansi kedua (banding) serta mengadili
pada tingkat pertama untuk Kapten ke atas dan yang tertinggi di Hindia Belanda
serta berkedudukan di Jakarta.
Pada masa pendudukan Balatentara Jepang pada tanggal 2 maret
1942, berdasarkan Osamu Gunrei No. 2 tahun 1942, membentuk Gunritukaigi
(peradilan militer) untuk mengadili perkara-perkara pelanggaran undang-undang
militer Jepang. Pengadilan militer ini bertugas mengadili perbuatan-perbuatan
yang bersifat mengganggu, menghalang-halangi dan melawan balatentara Jepang
dengan pidana terberat hukuman mati.
Gunritukaigi dikepalai oleh Sirei Kan (pembesar Balatentara
Jepang), yang beranggotakan :
- Sinbankan ; hakim yang memberikan putusan
- Yosinkan ; hakim yang memeriksa perkara sebelum persidangan
- Kensatakun ; Jaksa
- Rokusi ; Panitera
- Keiza ; Penjaga terdakwa.
B. Masa Awal Kemerdekaan (1945-1950)
Pada tanggal 5 Oktober 1945 Angkatan Perang RI dibentuk
tanpa diikuti pembentukan Peradilan Militer.
Peradilan Militer baru dibentuk setelah dikeluarkannya
Undag-undang Nomor 7 Tahun 1946 tentang Peraturan mengadakan Pengadilan Tentara
disamping pengadilan biasa, pada tanggal 8 Juni 1946, kurang lebih 8 bulan
setelah lahirnya Angkatan Bersenjata Republik Indonesia. Dalam masa kekosongan
hukum ini, diterapkan hukum disiplin militer dan bersamaan dengan ini pula
dikeluarkan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1946 tentang Hukum Acara Pidana guna
peradila Tentara.
Dengan dikeluarkannya kedua undang-undang diatas, maka
peraturan-peraturan di bidang peradilan militer yang ada pada zaman sebelum
proklamasi, secara formil dan materil tidak diperlakukan lagi.
Dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1946 Penradilan tentara di
bagi menjadi 2 (dua) tingkat, yaitu :
- Mahkamah Tentara
- Mahkamah Tentara Agung.
Peradilan Tentara berwenang mengadili perkara pidana yang
merupakan kejahatan dan pelanggaran yang dilakukan oleh :
- Prajurit Tentara (AD) Republik Indonesia, Angkatan laut dan Angkatan Udara
- Orang yang oleh presiden dengan PP ditetapkan sama dengan prajurit
- Orang yang tidak termasuk golongan (a) dan (b) tetapi berhubungan dengan kepentingan ketentaraan.
Pengadilan juga diberi wewenang untuk mengadili siapapun
juga, bila kejahatan yang dilakukan termasuk dalam titel I dan II buku II KUHP
yang dilakukan dalam daerah yang dinyatakan dalam keadaan bahaya.
Mahkamah Tentara merupakan pengadilan tingkat pertama yang
berwenang mengadili perkara dengan tersangka prajurit berpangkat Kapten ke
bawah.
Mahkamah Tentara Agung, pada tingkat pertama dan terakhir
untuk perkara :
- Terdakwanya serendah-rendahnya berpangkat Mayor
- Seorang yang jika dituntut di pengadilan biasa diputus oleh PT atau MA
- Perselisihan kewenangan antara Mahkamah-mahkamah tentara
Mahkamah Tentara Agung pada tingkat kedua dan terakhir,
mengadili perkara yang telah diputus oleh mahkamah tentara. Persidangan di
pisahkan menjadi dua yakni persidangan untuk perkara kejahatan dan perkara
pelanggaran.
Pada tahun 1948 dikeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 37
tahun 1948, yang mengubah beberapa ketentuan susunan, kedudukan dan daerah
hukum yang telah diatur sebelumnya. Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun 1948
ini mengatur peradilan tentara dengan susunan :
- Mahkamah Tentara
- Mahkamah Tentara Tinggi
- Mahkamah Tentara Agung
Dengan demikian sistem peradilan dua tingkat yang diatur
sebelumnya berubah menjadi tiga tingkat, dengan masing-masing kewenangan;
- Mahkamah Tentara, mengadili dalam tingkat pertama kejahatan dan pelanggaran yang dilakukan prajurit berpangkat kapten ke bawah
- Mahkamah Tentara Tinggi, pada tingkat pertama mengadili prajurit yang berpangkat Mayor ke atas. Pada tingkat kedua memeriksa dan memutus segala perkara yang telah diputus mahkamah tentara yang diminta ulangan pemeriksaan.
- Mahkamah Tentara Agung, pada tingkat pertama da terakhir memeriksa dan memutus perkara kejahatan dan pelanggaran yang dilakukan oleh Panglima Besar, Kastaf Angkatan Perang, Kastaf Angkatan Darat, Kastaf Angkatan Laut, Kastaf Angkatan Udara, Panglima Tentara Teritorium Sumatera, Komandan Teritorium Jawa, Komandan Teritorium Sumtera, Panglima Kesatuan Reserve Umum, Kastaf Pertahanan Jawa Tengah dan Kastaf Pertahanan Jawa Timur.
Dalam Peraturan Pemerintah tersebut juga diatur adanya 3
tingkat kejaksaan tentatara :
- Kejaksaan Tentara
- Kejaksaan Tentara Tinggi
- Kejaksaan Tentara Agung
Hukum Pidana Materil yang berlaku pada masa berlakunya
Undang-undang Nomor 7 tahun 1946 dan Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun 1948
adalah sebagai berikut :
- KUHP (UU. No. 1 tahun 1946)
- KUHPT (UU. No. 39 Tahun 1947 jo. S. 1934 No. 167)
- KUHDT (UU. No. 40 Tahun 1947 jo. S. 1934 No. 168)
Pada masa tahun 1946 hingga 1948 diadakan Peradilan Militer
Khusus, sebagai akibat dari peperangan yang terus berlangsunf yang
mengakibatkan putusnya hubungan antar daerah. Peradilan militer khusus ini
meliputi:
- Mahkamah Tentara Luar Biasa (PP. No. 5 tahun 1946).
- Mahkamah Tentara Sementara (PP. No. 22 tahun 1947).
- Mahkamah Tentara Daerah Terpencil (PP. No. 23 Tahun 1947).
Pada tanggal 19 Desember 1948 tentara Belanda melakukan
agresinya yang kedua terhadap negara Republik Indonesia. Agresi tersebut
dimaksudkan untuk menghancurkan Tentara Nasional Indonesia dan selanjutnya
pemerintah RI. Aksi tersebut mengakibatkan jatuhnya kota tempat kedudukan
badan-badan peradilan ke tangan Belanda.
Mengingat kondisi ini, maka dikeluarkanlah peraturan darurat
tahun 1949 Nomor 46/MBKD/49 yang mengatur Peradilan Pemerintahan Militer untuk
seluruh pulau Jawa -Madura. Peraturan tersebut memuat tentang :
- Pengadilan Tentara Pemerintahan Militer
- Pengadilan Sipil Pemerintah Militer
- Mahkamah Luar Biasa
- Cara menjalankan Hukuman Penjara.
Selanjutnya dalam makalah ini penulis akan membatasi dengan
hanya membahas pengadilan tentara pemerintahan militer. Pada masa ini
Pengadilan Militer terdiri atas tiga badan yaitu:
- Mahkamah Tentara Onder Distrik Militer (MTODM), berkedudukan sama dengan komandan ODM yang berwenang mengadili prajurit tingkat Bintara.
- Mahkamah Tentara Distrik Militer (MTDM), berkedudukan sama dengan komandan DM yang berwenang mengadili perwira pertama hingga Kapten.
Mahkamah Tentara Daerah Gubernur Militer, (MTGM),
berkedudukan sama dengan Gubernur militer yang berwenang mengadili kapten
sampai Letnan Kolonel. Peraturan darurat tersebut hanya berjalan selama kurang
lebih 6 bulan, kemudian pada tanggal 12 juli 1949 menteri kehakiman RI mencabut
Bab II peraturan tersebut. Kemudian pada tanggal 25 Desember 1949 dengan PERPU
No. 36 tahun 1949 mencabut seluruhnya materi Peraturan darurat No. 46/MBKD/49,
dan aturan yang berlaku sebelumnya dinyatakan berlaku lagi.
Berdasarkan Undang-undang darurat No. 16 tahun 1950,
mengatur peradilan tentara kedalam tiga tingkatan yaitu:
- Mahkamah Tentara
- Mahkamah Tentara Tinggi
- Mahkamah Tentara Agung
Sementara untuk Kejaksaan dibagi atas :
- Kejaksaan Tentara
- Kejaksaan Tentara Tinggi
- Kejaksaan Tentara Agung
Undang-undang darurat No. 16 tahun 1950 kemudian dicabut
dengan lahirnya UU No. 5 tahun 1950, yang sebenarnya hanya merupakan
penggantian formil saja, sedangkan mengenai materinya tetap tidak mengalami
perobahan. Pada masa ini masa RIS lahir Mahkamah Tentara di banyak tempat,
seperti :
1. Jawa – Madura pada kota-kota :
- Jakarta, dengan daerah hukumya Keresidenan Jakarta, Banten dan Bogor
- Bandung, meliputi Keresidenan Priangan dan Cirebon
- Pekalongan, meliputi Keresidenan Pekalongan dan Banyumas
- Semarang, meliputi Keresidenan Semarang dan Pati
- Yogyakarta, meliputi Keresidenan Yogyakarta dan Kedu
- Surakarta, meliputi: Keresidenan Surakarta dan Madiun
- Surabaya, meliputi Keresidenan Surabaya, Bojonegoro dan Madura
- Malang, meliputi Keresidenan Malang dan Besuki.
Dengan Yogyakarta sebagai tempat kedudukan Mahkamah
Tentara Tinggi, untuk daerah Jawa-Madura.
2. Sumatera, Mahkamah Tentara berkedudukan dikota:
- Medan, meliputi bekas Keresidenan Aceh, Riau dan Sumatera Timur
- Padang, meliputi bekas Keresidenan Sumatera Barat dan Tapanuli
- Palembang, meliputi bekas Keresidenan Palembang, Jambi, Bengkulu, Lampung dan Bangka-Belitung.
Bukit Tinggi merupakan tempat kedudukan Mahkamah Tentara
Tinggi untuk seluruh Sumatera
3. Kalimantan, Mahkamah Tentara berkedudukan dikota:
- Pontianak, meliputi bekas Keresidenan Kalimantan Barat dengan pulau-pulaunya
- Banjarmasin, meliputi bekas Keresidenan Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur.
Mahkamah Tentara Tinggi untuk seluruh Kalimantan
berkedudukan di Jakarta.
Mahkamah Tentara di Indonesia Timur berada di kota:
- Makassar, meliputi Propinsi
Sulawesi dan bekas Afdeling Ternate
- Ambon, meliputi seluruh wilayah
Maluku di kurangi Ternate
- Denpasar, meliputi seluruh wilayah
Propinsi Sunda Kecil (NTT-B).
Mahkamah Tentara Tinggi berkeduduan di Makassar dan Mahkamah
Tentara Agung berkedudukan di Mahkamah Agung Indonesia.
C. Masa Berlakunya UUDS 1950 (1950-1959)
Ketentuan yang telah ada pada masa RIS tetap berlaku kecuali
yang tidak sesuai dengan tujuan negara kesatuan. Daerah hukum Mahkamah Tentara
mengalami perubahan (penambahan dan pengurangan) seperti:
1. Jawa-Madura
- Jakarta, tambah Kab. Kep. Riau
(Tanjung Pinang)
- Surabaya, tambah Kediri
2. Sumatera
- Medan, dikurangi Kab. Kep. Riau
tapi ditambah dengan Tapanuli
- Padang, dikurangi Tapanuli dan
ditambah Kampar (Pekanbaru)
Kedudukan Pengadilan Tinggi Tentara yang sebelumnya di Bukit
Tinggi dipindah ke Medan dengan wilayah hukum seluruh Sumatera.
3. Kalimantan
Pengadilan Tinggi Tentara dipindah dari Jakarta ke Surabaya.
Pada periode 1950-1959 di negar kita terjadi keadaan
darurat, sebagai dampak dari politik federalisme kontra unitarisme. Seperti
pemberontakan Andi azis di Makassar, Peristiwa APPRA di Bandung, RMS di Maluku,
peristiwa DI/TII di Jabar, Jateng, Aceh dan Sulawesi Selatan serta peristiwa
yang tidak kalah besar ialah peristiwa PRRI/Permesta di Sumtera dan Sulawesi.
Berangkat dari kondisi diatas, dan demi untuk tetap
menegakkan hukum di lingkungan militer, maka di bentuklah Peradilan Militer
Khusus seperti;
- Mahkamah Tentara Luar Biasa : Putusan mahkamah ini tidak dapat di mintakan banding
- Mahkamah Angkatan Darat/Udara pertempuran : Putusan mahkamah ini merupakan tingkat pertama dan terakhir.
D. Masa Juli 1959-11 Maret 1966
Pada Tanggal 5 Juli 1959 Presiden RI mengeluarkan dekrit
yang menyatakan pembubaran Konstituante dan berlakunya kembali UUD 1945.
Undang-undang Nomor 5 tahun 1950 sejak dikeluarkannya dekrit tetap berlaku,
tetapi perkembangan selanjutnya menyebabkan penerapannya berbeda dengan periode
sebelum dekrit 5 Juli 1959. Hal ini karena makin disadari bahwa kehidupan
militer memiliki corak kehidupan khusus, disiplin tentara yang hanya dapat
dimengerti oleh anggota tentara itu sendiri. Karena itu dirasakan perlunya
fungsi peradilan diselenggarakan oleh anggota militer.
Pada tanggal 30 Oktober 1965 di undangkan Penetapan Presiden
No.22 tahun 1965, tentang perobahan dan tambahan beberapa pasal dalam UU. No. 5
tahun 1950. Perobahan-perobahan tersebut adalah mengenai pengangkatan
pejabat-pejabat utama pada badan-badan peradilan militer. Dengan adanya
ketentuan tentang pengangkatan tersebut, maka ketua pengadilan tentara dan
pengadilan tentara tinggi, yang menurut ketentuan lama, karena jabatannya
dijabat oleh oleh ketua pengadilan Negeri/ketua pengadilan tinggi, sekarang di
jabat oleh pejabat dari kalangan Militer sendiri. Perubahan sama berlaku pula
pada panitera. Penyiapan tenaga ini telah dilakukan sejak tajun 1952 dengan
mendirikan dan mendidik para perwira pada akademi hukum militer. Tahun 1957
angkatan I telah lulus kemudian melanjutkan ke Fakultas Hukum dan pengetahuan
masyarakat, Universitas Indonesia.
Tahun 1961 merupakan awal pelaksanaan peradilan militer
diselenggarakan oleh para perwira ahli atau sarjana hukum, sesuai dengan
instruksi Mahkamah agung No. 229/2A/1961 bahwa mulai september 1961 hakim
militer sudah harus mulai memimpin sidang pengadilan tentara. Demkian halnya
dengan kejaksaan.
Dengan perkembangan tersebut diatas, dimulailah babak baru
dalam penyelenggaraan Peradilan Militer. Perkembangan selanjutnya ialah anggota
dari suatu angkatan diperiksa dan diadili oleh hakim jaksa dari angktan
bersangkutan. Perkembangan selanjutnya yang perlu mendapat perhatian adalah di
undangkannya Undang-undang Nomor 3 PNPS tahun 1965 tentang memberlakukan Hukum
Pidana Tentara, Hukum Acara Pidana Tentara dan Hukum disiplin tentara bagi angkatan
Kepolisian pada tanggal 15 maret 1965.
Perkembangan selanjutnya adalah lahirnya Undang-undang Nomor
23 PNPS 1965 pada tanggal 30 Oktober 1965 yang menetapkan bahwa dalam tingkat
pertama, tantama, bintara dan perwira polisi yang melakukan tindak pidana di
adili oleh badan peradilan dalam lingkungan angkatan kepolisian. Sebelumnya
diadili di badan peradilan angkatan darat dan angkatan laut untuk yang
kepulauan Riau. Dengan demikian peradilan dalam lingkungan Peradilan Militer
dalam pelaksanaannya terdiri dari :
- Peradilan Militer untuk Lingkungan Angkatan Darat
- Peradilan Militer untuk Lingkungan Angkatan Laut
- Peradilan Militer untuk Lingkungan Angkatan Udara
- Peradilan Militer untuk Lingkungan Angkatan Kepolisian.
Peradilan ini terus berlangsung hingga setelah 11 maret
1966, bahkan peradilan di lingkungan angkatan kepolisian baru di mulai pada
tahun 1966.
E. Masa 11 Maret 1966-1997
Pelaksanaan peradilan militer didalam lingkungan
masing-masing angkatan seperti yang ada sebelumnya tetap berlaku hingga pada awal
1973.
Tahun 1970 lahirlah Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970
menggantikan Undang-undang Nomor 19 tahun 1964 tentang ketentuan-ketentuan
Pokok Kekuasaan Kehakiman. Undang-undang ini mendorong proses integrasi
peradilan di lingkungan militer. Baru kemudian berubah ketika dikeluarkan
berturut-turut :
- Keputusan bersama menteri kehakiman dan menteri pertahanan/Pangab pada tanggal 10 Juli 1972 No. J.S.4/10/14 – SKEB/B/498/VII/72
- Keputusan bersama menteri kehakiman dan menteri pertahanan keamanan pada tanggal 19 maret 1973 No. KEP/B/10/III/1973 – J.S.8/18/19. Tentang perobahan nama, tempat kedudukan, daerah hukum, jurisdiksi serta kedudukan organisatoris pengadilan tentara dan kejaksaan tentara.
Barulah kemudian peradilan militer dilaksanakan secara
terintegrasi. Pengadilan militer tidak lagi berada di masing-masing angkatan
tetapi peradilan dilakukan oleh badan peradilan militer yang berada di bawah
departemen pertahanan dan keamanan. Kemudian berdasar dari SK bersama tersebut,
maka nama peradilan ketentaraan di adakan perubahan. Dengan demikian, maka
kekuasaan kehakiman dalam peradilan militer dilakukan oleh:
- Mahkamah Militer (MAHMIL)
- Mahkamah Militer Tinggi (MAHMILTI)
- Mahkamah Militer Agung (MAHMILGUNG).
Pada tahun 1982 dikeluarkan Undang-undang No. 20 tahun 1982
tentang ketentuan pokok pertahanan keamanan negara RI yang kemudian diubah
dengan undang-undang No 1 tahun 1988. Undang -undang ini makin memperkuat dasar
hukum keberadaan peradilan militer. Pada salah satu point pasalnya dikatakan
bahwa angkatan bersenjata mempunyai peradilan tersendiri dan komandan-komandan
mempunyai wewenang penyerahan perkara. Hingga tahun 1997 hampir tidak ada
perubahan yang signifikan dalam pelaksaanan peradilan militer di Indonesia.
F. Peradilan Militer 1997 – Sekarang
Pada tahun 1997 diundangkan UU No. 31 tahun 1997 tentang
peradilan militer. Undang-undang ini lahir sebagai jawaban atas perlunya
pembaruan aturan peradilan militer, mengingat aturan sebelumnya dipandang tidak
sesuai lagi dengan jiwa dan semangat undang-undang No. 14 tahun 1970 tentang
ketentuan pokok kekuasaan kehakiman. Undang-undang ini kemudian mengatur
susunan peradilan militer yang terdiri dari :
1.
Pengadilan Militer
2.
Pengadilan Militer Tinggi
3.
Pengadilan Militer Utama
4.
Pengadilan Militer Pertempuran.
Dengan diundangkannya ketentuan ini, maka Undang-undang
Nomor 5 Tahun 1950 tentang susunan dan kekuasaan pengadilan atau kejaksaan
dalam lingkungan peradilan ketentaraan, sebagaimana telah diubah dengan
Undang-undang Nomor 22 PNPS Tahun 1965 dinyatakan tidak berlaku lagi. Demikian
halnya dengan Undang-undang Nomor 6 tahun 1950 tentang Hukum Acara Pidana pada
pengadilan tentara, sebagaimana telah di ubah dengan UUndang-undang Nomor 1 Drt
tahun 1958 dinyatakan tidak berlaku lagi.
3. Tugas dan Wewenang
Pengadilan Militer Utama di bidang teknis yustisial,
bertugas melaksanakan Kekuasaan Kehakiman yang bebas sesuai visi dan misi yang
telah ditetapkan oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia, dan di bidang personel
melaksanakan pembinaan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Pengadilan Militer adalah badan pelaksana kekuasaan
Kehakiman dilingkungan Angkatan Bersenjata / TNI dan berpuncak pada Mahkamah
Agung Republik Indonesia sebagai Pengadilan tertinggi.
Sesuai dengan ketentuan pasal 40 UU Nomor 31 tahun 1997 tentang Pengadilan Militer, bahwa Pengadilan Militer mempunyai wewenang memeriksa dan mengadili serta memutus pada tingkat pertama, perkara pidana yang dilakukan oleh seseorang yang pada waktu melakukan tindak pidana adalah:
1. Prajurit yang berpangkat Kapten kebawah.
2. Yang berdasarkan Undang-undang dipersamakan dengan Prajurit.
3. Anggota suatu golongan, jawatan, badan yang disamakan dan dianggap sebagai Parjurit berdasarkan Undang-undang.
4. Seseorang yang atas Keputusan Panglima dengan persetujuan Menteri Kehakiman harus diadili oleh suatu Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Militer.
Sesuai dengan ketentuan pasal 40 UU Nomor 31 tahun 1997 tentang Pengadilan Militer, bahwa Pengadilan Militer mempunyai wewenang memeriksa dan mengadili serta memutus pada tingkat pertama, perkara pidana yang dilakukan oleh seseorang yang pada waktu melakukan tindak pidana adalah:
1. Prajurit yang berpangkat Kapten kebawah.
2. Yang berdasarkan Undang-undang dipersamakan dengan Prajurit.
3. Anggota suatu golongan, jawatan, badan yang disamakan dan dianggap sebagai Parjurit berdasarkan Undang-undang.
4. Seseorang yang atas Keputusan Panglima dengan persetujuan Menteri Kehakiman harus diadili oleh suatu Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Militer.
4.
Kedudukan
Pengadilan Utama Militer berada di ibu kota negara
yang daerah hukumnya meliputi seluruh wilayah negara Republik Indonesia. Pengadilan Utama
Militer melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan peradilan di semua
lingkungan Pengadilan Militer, Pengadilan Tinggi Militer,
dan Pengadilan
Pertempuran Militer di daerah hukumnya masing-masing.
5.
Susunan
Persidangan
Dalam persidangannya, Pengadilan Utama Militer
dipimpin 1 orang Hakim Ketua
dengan pangkat minimal Brigadir Jenderal
atau Laksamana Pertama atau Marsekal Pertama,
kemudian 2 orang Hakim Anggota
dengan pangkat paling rendah adalah Kolonel
yang dibantu 1 orang Panitera
(minimal berpangkat Mayor
dan maksimal Kolonel)
Sumber: berbagai sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar