Sebelumnya: Defense Devil Chapter 22
“Ini hanya sebuah boneka…” ucap pria itu. “Sekarang pikirkan, sebuah cara untuk mengatasi pertengkaran mereka. Gunakan kebijakanmu! Seperti manusia!”
Kucabara menatap kedua anak itu yang balik menatapnya. “Ugh!! Aku tidak tahu!!” ucapnya. “Tidak ada cara untuk melakukannya! Salah satu dari mereka akan berakhir dengan menangis!”
Defense Devil: Judgement 5 - Kebijakan Kucabara part IV
Text Version by esti-widhayang.blogspot.com
Author: Dhwati Esti Widhayang
Text Version by esti-widhayang.blogspot.com
Author: Dhwati Esti Widhayang
“Dukov-san…” seseorang yang
membawa sapu datang dan memanggil pria gemuk itu. “Kau berpatroli lagi?
Sudahlah, biarkan yang professional mengurus pekerjaan ini. Saat terakhir kali
kau menggunakan radio polisi─”
BUG! Pria gemuk itu memukul kepala orang itu dengan pemukul baseball. “Ooops!” ucapnya, bertingkah seolah itu tidak disengaja dan untuk menghentikan apa yang orang itu akan ucapkan.
“Nah, anak muda.” Ucap pria itu kembali pada Kucabara. “Sekarang katakanlah kalau kau menyerah soal boneka ini.” Pria itu mengambil boneka itu dari kedua anak tersebut. “Jika kalian tidak mau bermain bersama, maka kita harus menyingkirkan penyebab perkelahian ini, itulah keadilan!”
“Apa yang dipikirkan laki-laki tua ini…” pikir Kucabara. Bukankah kalau boneka itu dibuang kedua anak itu akan menangis? Tapi…
Pria itu memuta-mutar boneka itu di udara. “Aku akan melemparkannya ke laut─”
“TUNGGU!!” ucap anak yang tertua. “Aku baik-baik saja. Tolong berikan itu kepada adikku!!”
“Hooh...” gumam pria bernama Dukov itu.
“Tidak, aku juga baik-baik saja!! Berikan itu kepada kakakku!!” ucap sang adik.
“Kau harus mengambilnya! Jika ada seseorang yang harus memilikinya, maka itu adalah kau!”
“Tidak, kau saja yang ambil! Aku tidak membutuhkannya!!”
Kucabara terdiam melihat kedua anak itu mampu menghilangkan keinginan mereka akan boneka itu.
“Kh… sangat kekanak-kanakan…”
Pada akhirnya, setelah berhasil mendamaikan kedua anak tersebut, pria itu kabur lagi menggunakan motor vespanya dan Kucabara lagi-lagi mengejar di belakangnya. “Oi! Berhenti bermain-main seperti anak kecil atau aku akan memukulmu!!” teriak Kucabara geram.
“Ah, berisik… ngomong-ngomong, mengapa kau terus mengikutiku?” tanya pria itu seolah tak berdosa dan tanpa melambatkan vespanya sedikitpun.
“Makanya kembalikan pedangku!! Ah, sial!!”
Sebuah mobil patrol polisi berjalan menyamai vespa pria itu. “Dukov-san! Dukov-san! Berhentilah dan serahkan patrol ini pada polisi!” terdengar suara dari speaker(?) mobil patroli itu.
Namun pria bernama Dukov itu tidak menghiraukan mobil polisi itu maupun Kucabara. “Oi oi!!” panggil Kucabara yang sudah tertinggal jauh. Pada akhirnya Ia menyerah dan berjalan kaki. “Aku hanya membuang-buang waktu… Oh ya, dimana Bichiura?”
Kucabara mencari Bichiura ke sekeliling kota itu.
Di tempat sampah,
Di atas lampu lalu lintas,
Namun Bichiura tidak juga ditemukannya. Kucabara berakhir dengan penuh kegalauan(?) di lorong di antara dua buah gedung.
“Aku tidak dapat menemukan sedikitpun jejaknya…” ucap Kucabara. “Apa Bichiura benar-benar berada di dunia manusia?”
Kucabara melipat kedua kakinya dan berpundung ria. Tiba-tiba sinar senter yang sangat terang menyilaukan matanya.
“Kau lagi, nak?!!” ternyata orang yang menyenter itu adalah Dukov yang sedang patroli. Walaupun sudah diperingati polisi yang asli Ia tetap berpatroli. Dan entah bagaimana Ia sudah kabur dengan vespanya setelah melihat Kucabara.
“Hei! Berikan pedangku kembali!!” Kucabara dan Dukov kembali melakukan aksi kejar-kejaran. “Hei! Berhenti kau disana!”
“Kecilkan suaramu, kau mengganggu patroliku!!” ucap Dukov.
BUG! Pria gemuk itu memukul kepala orang itu dengan pemukul baseball. “Ooops!” ucapnya, bertingkah seolah itu tidak disengaja dan untuk menghentikan apa yang orang itu akan ucapkan.
“Nah, anak muda.” Ucap pria itu kembali pada Kucabara. “Sekarang katakanlah kalau kau menyerah soal boneka ini.” Pria itu mengambil boneka itu dari kedua anak tersebut. “Jika kalian tidak mau bermain bersama, maka kita harus menyingkirkan penyebab perkelahian ini, itulah keadilan!”
“Apa yang dipikirkan laki-laki tua ini…” pikir Kucabara. Bukankah kalau boneka itu dibuang kedua anak itu akan menangis? Tapi…
Pria itu memuta-mutar boneka itu di udara. “Aku akan melemparkannya ke laut─”
“TUNGGU!!” ucap anak yang tertua. “Aku baik-baik saja. Tolong berikan itu kepada adikku!!”
“Hooh...” gumam pria bernama Dukov itu.
“Tidak, aku juga baik-baik saja!! Berikan itu kepada kakakku!!” ucap sang adik.
“Kau harus mengambilnya! Jika ada seseorang yang harus memilikinya, maka itu adalah kau!”
“Tidak, kau saja yang ambil! Aku tidak membutuhkannya!!”
Kucabara terdiam melihat kedua anak itu mampu menghilangkan keinginan mereka akan boneka itu.
“Kh… sangat kekanak-kanakan…”
Pada akhirnya, setelah berhasil mendamaikan kedua anak tersebut, pria itu kabur lagi menggunakan motor vespanya dan Kucabara lagi-lagi mengejar di belakangnya. “Oi! Berhenti bermain-main seperti anak kecil atau aku akan memukulmu!!” teriak Kucabara geram.
“Ah, berisik… ngomong-ngomong, mengapa kau terus mengikutiku?” tanya pria itu seolah tak berdosa dan tanpa melambatkan vespanya sedikitpun.
“Makanya kembalikan pedangku!! Ah, sial!!”
Sebuah mobil patrol polisi berjalan menyamai vespa pria itu. “Dukov-san! Dukov-san! Berhentilah dan serahkan patrol ini pada polisi!” terdengar suara dari speaker(?) mobil patroli itu.
Namun pria bernama Dukov itu tidak menghiraukan mobil polisi itu maupun Kucabara. “Oi oi!!” panggil Kucabara yang sudah tertinggal jauh. Pada akhirnya Ia menyerah dan berjalan kaki. “Aku hanya membuang-buang waktu… Oh ya, dimana Bichiura?”
Kucabara mencari Bichiura ke sekeliling kota itu.
Di tempat sampah,
Di atas lampu lalu lintas,
Namun Bichiura tidak juga ditemukannya. Kucabara berakhir dengan penuh kegalauan(?) di lorong di antara dua buah gedung.
“Aku tidak dapat menemukan sedikitpun jejaknya…” ucap Kucabara. “Apa Bichiura benar-benar berada di dunia manusia?”
Kucabara melipat kedua kakinya dan berpundung ria. Tiba-tiba sinar senter yang sangat terang menyilaukan matanya.
“Kau lagi, nak?!!” ternyata orang yang menyenter itu adalah Dukov yang sedang patroli. Walaupun sudah diperingati polisi yang asli Ia tetap berpatroli. Dan entah bagaimana Ia sudah kabur dengan vespanya setelah melihat Kucabara.
“Hei! Berikan pedangku kembali!!” Kucabara dan Dukov kembali melakukan aksi kejar-kejaran. “Hei! Berhenti kau disana!”
“Kecilkan suaramu, kau mengganggu patroliku!!” ucap Dukov.
“Kau kabur dari rumah? Apa
yang terjadi?” tanya Dukov kepada seorang anak kecil yang duduk sendirian di
ayunan sebuah taman.
Sementara itu, Kucabara sedang sibuk mencoba mengeluarkan pedangnya yang lagi-lagi di borgol oleh Dukov di besi dekat ayunan. “Sial!!”
“Siapa nama dan dimana rumahmu?” tanya Dukov pada anak perempuan itu. “Aku akan meneleponkan orang tuamu.”
“Tidak! Aku tidak ingin pulang ke rumah! Aku tidak ingin melihat wajah ibuku!” ucap anak itu. “Walaupun jika aku tidak ingin bermain piano, ibu tetap memaksaku untuk bermain! Walaupun impianku bukan untuk menjadi seorang pianis, Ia tidak mau mendengarkanku dan marah!”
“Wah, kalau begitu situasinya,” ucap Dukov. “Kau harus─”
“Menyerah.” Potong Kucabara. “Menyerahlah, dan lakukan apa yang orang tuamu inginkan. Itu adalah takdir yang sudah dilukiskan bahkan sebelum kau lahir, tidak ada gunanya untuk berusaha melawannya!”
BUGG! Dukov memukul kepala Kucabara dengan tongkat baseball tadi yang entah bagaimana selalu menjadi senjata yang ampuh.
“Jangan dengarkan kata-kata di pec***ang ini.” Ucap Dukov. “Itu bukan sesuatu yang tidak berguna, yang terpenting adalah memberitahukan bagaimana perasaanmu.”
Kucabara marah mendengar ucapan Dukov. Ia menodongkan pedangnya yang sudah berhasil dilepasnya ke leher Dukov. “Siapa yang kau sebut pec***ang?!!”
Kucabara menahan sedikit amarahnya. “Bisakah kau mengerti posisiku? Menanggung seluruh harapan yang dibebankan orang tua… ketika kau mencoba untuk menolaknya, lalu semua orang yang ada di sekitarmu tidak akan bahagia..”
“…Dan itu menjadi alasan untuk menyerah?” tanya Dukov. “Terdengar seperti pec***ang.”
“Diam!” Kucabara menebaskan pedangnya dan membuat paping block(?) yang dikenainya hancur berantakan. “Kau tidak tahu apapun tentangku!! Jangan mengatakan hal menyebalkan yang berasal dari pemikiranmu itu!!”
“Uh.. aku akan pulang..” ucap si anak kecil ketakutan setelah melihat kekuatan Kucabara itu.
“Nak, lebih daripada seorang pec***ang, otakmu itu sudah kacau balau.” Ucap Dukov. “Kepribadian seperti itulah yang membuat orang disekitarmu berada dalam masalah. Tapi, kau tahu? Dengan pemikiran kacau seperti itu, beberapa orang berani maju dengan senjata mereka. Karena mereka mampu melakukannya, mereka telah merubah dunia.”
“Berhenti bicara omong kosong!!!” ucap Kucabara.
Jzzzt. Radio di vespa Dukov berbunyi. “Jijiji.. kecelakaan telah terjadi di blok 2.” Terdengar suara dari radio tersebut, namun Dukov belum menghiraukannya dan melanjutkan percakapan(?)nya dengan Kucabara.
“Omong kosong?” Dukov mengulangi kata terakhir Kucabara. “Baiklah, datang kemari dan berkeliling bersamaku besok!”
“Ti-tidak mau!!”
“Berisik. Datang saja!”
“Ba-baiklah.”
“Ayo!”
Sementara itu, Kucabara sedang sibuk mencoba mengeluarkan pedangnya yang lagi-lagi di borgol oleh Dukov di besi dekat ayunan. “Sial!!”
“Siapa nama dan dimana rumahmu?” tanya Dukov pada anak perempuan itu. “Aku akan meneleponkan orang tuamu.”
“Tidak! Aku tidak ingin pulang ke rumah! Aku tidak ingin melihat wajah ibuku!” ucap anak itu. “Walaupun jika aku tidak ingin bermain piano, ibu tetap memaksaku untuk bermain! Walaupun impianku bukan untuk menjadi seorang pianis, Ia tidak mau mendengarkanku dan marah!”
“Wah, kalau begitu situasinya,” ucap Dukov. “Kau harus─”
“Menyerah.” Potong Kucabara. “Menyerahlah, dan lakukan apa yang orang tuamu inginkan. Itu adalah takdir yang sudah dilukiskan bahkan sebelum kau lahir, tidak ada gunanya untuk berusaha melawannya!”
BUGG! Dukov memukul kepala Kucabara dengan tongkat baseball tadi yang entah bagaimana selalu menjadi senjata yang ampuh.
“Jangan dengarkan kata-kata di pec***ang ini.” Ucap Dukov. “Itu bukan sesuatu yang tidak berguna, yang terpenting adalah memberitahukan bagaimana perasaanmu.”
Kucabara marah mendengar ucapan Dukov. Ia menodongkan pedangnya yang sudah berhasil dilepasnya ke leher Dukov. “Siapa yang kau sebut pec***ang?!!”
Kucabara menahan sedikit amarahnya. “Bisakah kau mengerti posisiku? Menanggung seluruh harapan yang dibebankan orang tua… ketika kau mencoba untuk menolaknya, lalu semua orang yang ada di sekitarmu tidak akan bahagia..”
“…Dan itu menjadi alasan untuk menyerah?” tanya Dukov. “Terdengar seperti pec***ang.”
“Diam!” Kucabara menebaskan pedangnya dan membuat paping block(?) yang dikenainya hancur berantakan. “Kau tidak tahu apapun tentangku!! Jangan mengatakan hal menyebalkan yang berasal dari pemikiranmu itu!!”
“Uh.. aku akan pulang..” ucap si anak kecil ketakutan setelah melihat kekuatan Kucabara itu.
“Nak, lebih daripada seorang pec***ang, otakmu itu sudah kacau balau.” Ucap Dukov. “Kepribadian seperti itulah yang membuat orang disekitarmu berada dalam masalah. Tapi, kau tahu? Dengan pemikiran kacau seperti itu, beberapa orang berani maju dengan senjata mereka. Karena mereka mampu melakukannya, mereka telah merubah dunia.”
“Berhenti bicara omong kosong!!!” ucap Kucabara.
Jzzzt. Radio di vespa Dukov berbunyi. “Jijiji.. kecelakaan telah terjadi di blok 2.” Terdengar suara dari radio tersebut, namun Dukov belum menghiraukannya dan melanjutkan percakapan(?)nya dengan Kucabara.
“Omong kosong?” Dukov mengulangi kata terakhir Kucabara. “Baiklah, datang kemari dan berkeliling bersamaku besok!”
“Ti-tidak mau!!”
“Berisik. Datang saja!”
“Ba-baiklah.”
“Ayo!”
Esok harinya, Kucabara
melewati hari yang sulit ketika bersama Dukov. Ia harus memanjat pohon untuk
menyelamatkan seekor kucing, berlarian untuk mengejar seorang pencuri, dan
dipatok ayam ketika menangkap ayam-ayam yang kabur dari sebuah mobil pengangkut
ayam.
“Kau tahu…” ucap Kucabara dengan seekor ayam di tangannya. “…Aku rasa aku sudah melenceng dari tujuan awalku.”
“Kerja bagus hari ini!” ucap Dukov.
“KERJA BAGUS APANYA??!!!” Kucabara jadi geram. “Selain itu, kau bahkan bukan seorang polisi, ya, kan?!! Kenapa kau melakukan hal-hal bodoh seperti ini???!!”
“Kemarilah.” Ucap Dukov kepada Kucabara. Ia sedang memanggang seekor ayam. “Ini hasil yang kita dapatkan dari pengemudi tadi sebagai ucapan rasa terima kasihnya.”
“Huh? Hanya itu saja?”
“Ini adalah sesuatu yang harus kau syukuri. Ini akan terasa lebih enak dari ayam yang biasanya.”
“Huh? Mengapa?”
“Mungkin itu karena aku telah ‘melakukan hal bodoh’.”
…
Setelah ayam panggangnya matang, Kucabara diberi sepotong untuk dicoba oleh Dukov. “Bagaimana rasanya? Enak?”
“He-hebat!!” Kucabara sampai menangis memakannya. Entah terharu atau karena benar-benar enak atau karena belum makan dua hari.
Beberapa saat kemudian, Ia dan Dukov memancing bersama. Kebetulan mereka sedang berada di dekat bebatuan di pesisir pantai.
“Bisakah kau menangkap sesuatu dengan benda itu?” tanya Kucabara melihat alat pancing Dukov. Daritadi yang didapatkan pria tua itu hanyalah sepatu boots bekas.
“Aku akan dapat jika saja ada banyak ikan dengan penuh rasa keingintahuan berada di sekitar pancingku.” Jawab Dukov. “Nak…” ucap Dukov. “Apa kau.. sedang bertengkar dengan ayahmu?”
“Ini tidak seperti aku seorang anak yang durhaka…” ucap Kucabara. “Manusia, kau tidak akan banyak mengerti soal perasaan ini.”
“Begitukah..”
“Di kondisi yang kucoba untuk ‘tinggalkan’ itu, aku bertanya-tanya ‘bisakah aku membuat semua orang bahagia dengan kebijakanku?’…” gumam Kucabara.
“Aku tidak mengerti kondisi apa yang kau maksudkan… tapi, kemungkinannya adalah ‘tidak mungkin’.” Ucap Dukov. Jleb.. Kucabara langsung tersengap mendengarnya. “Tidak ada cara yang bisa kau lakukan untuk membuat semua orang di dunia bahagia. Semua orang yang mencoba melakukan itu akan berakhir dengan memakan kata-kata mereka sendiri…”
“Sudah cukup! Aku seperti orang idiot mendengarkan kata-katamu!”
“Tapi… kau tahu nak… hanya ada perbedaan tipis antara ‘bodoh’ dan ‘kebijakan’.” Ucap Dukov. “Kau berkata tidak ada gunanya untuk bertengkar melawan orang tuamu… walaupun begitu, kalau kau punya hal yang ingin kau lakukan, kumpulkan keberanianmu dan lakukan ‘hal bodoh’ itu.”
Dukov menarik pancingnya dan lagi-lagi Ia mendapatkan sepatu boots. “Dan bahkan jika kau gagal… itu tidak masalah, karena begitulah arti menjadi seorang manusia!”
“…”
“Huh, aku hanya berhasil memancing gundukan sampah.” Gumam Dukov. “Yah, tidak apa-apa, setidaknya aku dapat membantu membuat laut jadi sedikit lebih bersih.”
“Hahaha… apa-apaan itu… lihat apa yang kau dapat!!” Kucabara tertawa terbahak-bahak. Ini baru pertama kalinya Ia tertawa sejak bertemu Dukov.
(Bichiura) Apa yang didengar Master adalah hal yang sederhana, tapi, tak dapat dipercaya, Master menjadi sangat bahagia. Itu adalah pertama kalinya Ia mendengar kata-kata sebaik itu… dan Ia tidak dapat menghentikan… air matanya.
“Hahaha!! Gundukan sampah!! Kau benar-benar seperti orang bodoh… hahaha─sampah!!” Kucabara terus tertawa membuat Dukov semakin pundung. Entah kenapa, Ia tertawa sambil menangis.
“Kau tahu…” ucap Kucabara dengan seekor ayam di tangannya. “…Aku rasa aku sudah melenceng dari tujuan awalku.”
“Kerja bagus hari ini!” ucap Dukov.
“KERJA BAGUS APANYA??!!!” Kucabara jadi geram. “Selain itu, kau bahkan bukan seorang polisi, ya, kan?!! Kenapa kau melakukan hal-hal bodoh seperti ini???!!”
“Kemarilah.” Ucap Dukov kepada Kucabara. Ia sedang memanggang seekor ayam. “Ini hasil yang kita dapatkan dari pengemudi tadi sebagai ucapan rasa terima kasihnya.”
“Huh? Hanya itu saja?”
“Ini adalah sesuatu yang harus kau syukuri. Ini akan terasa lebih enak dari ayam yang biasanya.”
“Huh? Mengapa?”
“Mungkin itu karena aku telah ‘melakukan hal bodoh’.”
…
Setelah ayam panggangnya matang, Kucabara diberi sepotong untuk dicoba oleh Dukov. “Bagaimana rasanya? Enak?”
“He-hebat!!” Kucabara sampai menangis memakannya. Entah terharu atau karena benar-benar enak atau karena belum makan dua hari.
Beberapa saat kemudian, Ia dan Dukov memancing bersama. Kebetulan mereka sedang berada di dekat bebatuan di pesisir pantai.
“Bisakah kau menangkap sesuatu dengan benda itu?” tanya Kucabara melihat alat pancing Dukov. Daritadi yang didapatkan pria tua itu hanyalah sepatu boots bekas.
“Aku akan dapat jika saja ada banyak ikan dengan penuh rasa keingintahuan berada di sekitar pancingku.” Jawab Dukov. “Nak…” ucap Dukov. “Apa kau.. sedang bertengkar dengan ayahmu?”
“Ini tidak seperti aku seorang anak yang durhaka…” ucap Kucabara. “Manusia, kau tidak akan banyak mengerti soal perasaan ini.”
“Begitukah..”
“Di kondisi yang kucoba untuk ‘tinggalkan’ itu, aku bertanya-tanya ‘bisakah aku membuat semua orang bahagia dengan kebijakanku?’…” gumam Kucabara.
“Aku tidak mengerti kondisi apa yang kau maksudkan… tapi, kemungkinannya adalah ‘tidak mungkin’.” Ucap Dukov. Jleb.. Kucabara langsung tersengap mendengarnya. “Tidak ada cara yang bisa kau lakukan untuk membuat semua orang di dunia bahagia. Semua orang yang mencoba melakukan itu akan berakhir dengan memakan kata-kata mereka sendiri…”
“Sudah cukup! Aku seperti orang idiot mendengarkan kata-katamu!”
“Tapi… kau tahu nak… hanya ada perbedaan tipis antara ‘bodoh’ dan ‘kebijakan’.” Ucap Dukov. “Kau berkata tidak ada gunanya untuk bertengkar melawan orang tuamu… walaupun begitu, kalau kau punya hal yang ingin kau lakukan, kumpulkan keberanianmu dan lakukan ‘hal bodoh’ itu.”
Dukov menarik pancingnya dan lagi-lagi Ia mendapatkan sepatu boots. “Dan bahkan jika kau gagal… itu tidak masalah, karena begitulah arti menjadi seorang manusia!”
“…”
“Huh, aku hanya berhasil memancing gundukan sampah.” Gumam Dukov. “Yah, tidak apa-apa, setidaknya aku dapat membantu membuat laut jadi sedikit lebih bersih.”
“Hahaha… apa-apaan itu… lihat apa yang kau dapat!!” Kucabara tertawa terbahak-bahak. Ini baru pertama kalinya Ia tertawa sejak bertemu Dukov.
(Bichiura) Apa yang didengar Master adalah hal yang sederhana, tapi, tak dapat dipercaya, Master menjadi sangat bahagia. Itu adalah pertama kalinya Ia mendengar kata-kata sebaik itu… dan Ia tidak dapat menghentikan… air matanya.
“Hahaha!! Gundukan sampah!! Kau benar-benar seperti orang bodoh… hahaha─sampah!!” Kucabara terus tertawa membuat Dukov semakin pundung. Entah kenapa, Ia tertawa sambil menangis.
“ CEPAT KIRIM PRAJURIT
KERAJAAN !!! BAWA DIA KEMBALI SEKARANG!!!” ucap raja iblis dengan penuh amarah.
Rupanya berita tentang kepergian Kucabara ke dunia manusia telah sampai di
telinganya.
…
“Kurasa lebih baik aku pergi sekarang.” Ucap Kucabara pada Dukov.
“Bichiura yang kau cari-cari… seperti apa dia?” tanya Dukov.
“Dia kecil, bulat dan hitam.. seperti itulah. Jangan khawatir soal itu! Dan.. terima kasih. Sampai jumpa.” Kucabara berjalan pergi. Namun tiba-tiba Ia terdiam sebentar. Tanpa membalikkan tubuh, Ia berkata, “Aku.. tidak takut lagi… mulai dari sekarang aku tidak akan langsung melakukan apa yang orang suruh aku lakukan. Aku akan hidup untuk melakukan apa yang ingin kulakukan. Seorang iblis… tidak, ‘orang yang seperti iblis’ yang seperti aku… tidak tahu bagaimana menggunakan ‘kebijakan’, tapi…”
“Mengapa kau terus saja menyebut-nyebut iblis?” tanya Dukov. “Sejak pertama kali aku bertemu denganmu, kau adalah orang yang cukup baik, nak.”
Kucabara terdiam sejenak.
“Sebenarnya.. aku…” Ia berbalik, dan…
…
“Kurasa lebih baik aku pergi sekarang.” Ucap Kucabara pada Dukov.
“Bichiura yang kau cari-cari… seperti apa dia?” tanya Dukov.
“Dia kecil, bulat dan hitam.. seperti itulah. Jangan khawatir soal itu! Dan.. terima kasih. Sampai jumpa.” Kucabara berjalan pergi. Namun tiba-tiba Ia terdiam sebentar. Tanpa membalikkan tubuh, Ia berkata, “Aku.. tidak takut lagi… mulai dari sekarang aku tidak akan langsung melakukan apa yang orang suruh aku lakukan. Aku akan hidup untuk melakukan apa yang ingin kulakukan. Seorang iblis… tidak, ‘orang yang seperti iblis’ yang seperti aku… tidak tahu bagaimana menggunakan ‘kebijakan’, tapi…”
“Mengapa kau terus saja menyebut-nyebut iblis?” tanya Dukov. “Sejak pertama kali aku bertemu denganmu, kau adalah orang yang cukup baik, nak.”
Kucabara terdiam sejenak.
“Sebenarnya.. aku…” Ia berbalik, dan…
Ia terkejut melihat Dukov
yang ditusuk oleh seorang iblis. Ratusan iblis turun dari langit. Mereka
memakai seragam yang sepertinya seragam prajurit kerajaan.
“Pangeran Yang Mulia, apa yang kau lakukan dengan manusia ini?! Raja Iblis sangat marah! Tolong segera kembali ke dunia iblis!”
“Pangeran Yang Mulia, apa yang kau lakukan dengan manusia ini?! Raja Iblis sangat marah! Tolong segera kembali ke dunia iblis!”
Selanjutnya: Defense Devil Chapter 24
Tidak ada komentar:
Posting Komentar